Dari Pena ke Algoritma: Berakhirnya Era Penulis?

Dari Pena ke Algoritma: Berakhirnya Era Penulis?

Sejak dahulu, menulis adalah aktivitas yang lekat dengan kesadaran, pengalaman, dan ketegangan subjektivitas manusia. Dari para pujangga kuno hingga novelis pascamodern, karya tulis menjadi medium untuk menyampaikan dunia batin, merenungkan masyarakat, bahkan menggugat kekuasaan. Namun, hari ini kita berada di ambang perubahan besar. Teknologi kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar alat bantu tulis, tetapi telah menjadi entitas penulis itu sendiri.

Dengan munculnya model bahasa besar (large language models), seperti GPT dan sejenisnya, kita menyaksikan fenomena di mana mesin mampu menyusun teks naratif, informatif, bahkan puisi dan cerita pendek dalam waktu hitungan detik. Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar: Apakah era penulis sebagai subjek kreatif telah berakhir?

Dari Penulis sebagai Subjek Kreatif ke Penulis sebagai Kurator

Dalam paradigma klasik, penulis adalah subjek yang menulis berdasarkan pengalaman, imajinasi, dan intensionalitas. Ia adalah “aku” yang sadar dan otonom dalam memilih kata, struktur, dan makna. Namun, dalam era AI, posisi ini mengalami pergeseran. Penulis manusia tidak lagi berdiri sebagai satu-satunya pusat kreativitas, melainkan lebih berperan sebagai kurator atau editor dari keluaran algoritma.

AI tidak menulis dari pengalaman eksistensial. Ia meniru. Ia merekombinasi. Tetapi rekombinasi itu dilakukan dengan kapasitas kalkulasi yang melebihi kemampuan manusia. Dengan kata lain, AI menulis tanpa kesadaran, namun menghasilkan teks yang tampak “berkesadaran”.

Akibatnya, definisi tentang apa itu menulis dan siapa itu penulis menjadi kabur. Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author menyatakan bahwa makna teks tidak lagi bergantung pada niat pengarang, melainkan pada pembacaan. Ironisnya, AI mungkin telah mewujudkan kematian pengarang itu secara literal: teks-teks kini hadir tanpa “pengarang” dalam pengertian manusiawi.

Pasar, Kecepatan, dan Efisiensi: Penulis Digantikan oleh Algoritma

Pergeseran ini tak terjadi dalam ruang kosong. Ia didorong oleh logika pasar yang menuntut kecepatan produksi konten dan efisiensi biaya. Dalam industri media dan penerbitan digital, banyak perusahaan mulai menggunakan AI untuk menghasilkan artikel, laporan, bahkan sinopsis film dan resensi buku.

Penulis manusia, yang butuh waktu berpikir dan berefleksi, dianggap lambat. Sementara AI dapat menulis ribuan kata dalam satu klik. Dalam ekonomi digital yang berorientasi pada klik dan trafik, algoritma lebih menarik ketimbang proses kreatif manusia.

Yang lebih mencemaskan adalah ketika AI digunakan untuk menulis dalam genre sastra dan akademik. Sudah ada contoh novel dan cerpen yang ditulis sebagian atau seluruhnya oleh AI dan memenangkan penghargaan. Di dunia akademik, jurnal-jurnal juga mulai dibanjiri tulisan-tulisan hasil “kolaborasi” dengan AI.

Otentisitas dan Otoritas: Pertanyaan Etis dan Estetis

Dengan fenomena ini, muncul dua pertanyaan besar:
Pertama, apakah teks yang dihasilkan AI memiliki nilai otentik?
Kedua, siapa yang bertanggung jawab atas makna dari teks tersebut?

Dalam filsafat estetika, karya seni selalu terkait dengan intensi dan pengalaman penciptanya. Tetapi AI tidak memiliki intensi. Maka, apakah karya AI adalah “seni”? Atau hanya simulasi seni?

Secara etis, persoalan menjadi lebih pelik. Dalam dunia penerbitan akademik, misalnya, siapa yang layak dianggap penulis? Apakah seseorang yang hanya memasukkan prompt lalu mengedit hasil keluaran AI bisa dianggap penulis ilmiah?

Di dunia sastra, persoalan ini menyentuh jantung persoalan ekspresi manusia. Sastra selalu dianggap sebagai bentuk penghayatan dan perjuangan makna. Apakah mungkin “perjuangan” itu direplikasi oleh mesin?

Menuju Ekologi Kepenulisan Baru: Kolaborasi atau Dominasi?

Meskipun tampak distopia, AI tidak harus dipandang sebagai ancaman mutlak. Sebagian penulis dan akademisi melihatnya sebagai mitra kreatif. Dalam praktiknya, AI bisa membantu riset, menyusun struktur narasi, bahkan mengatasi writer’s block. Di sinilah muncul ekologi kepenulisan baru: manusia sebagai pemantik, AI sebagai generator, manusia kembali sebagai penyunting dan penentu makna akhir.

Namun, agar posisi penulis tidak terhapus dalam struktur produksi budaya baru ini, perlu ada kesadaran kritis. Penulis harus memahami cara kerja AI, bias algoritmik, serta batas-batas etis penggunaannya. Literasi digital harus menjadi bagian dari kompetensi kepenulisan masa kini.

Bukan Kematian, Tapi Transfigurasi Penulis

Era penulis memang sedang mengalami transformasi radikal. Bukan karena manusia tak lagi bisa menulis, tetapi karena cara menulis dan cara produksi teks telah berubah secara struktural. Penulis tidak lagi berdiri sendiri, melainkan berjejaring dengan mesin, algoritma, dan sistem platform.

Dalam dunia yang serba otomatis ini, peran penulis mungkin bukan lagi sebagai pencipta tunggal, tapi sebagai penjaga makna, kurator nilai, dan pemikir yang mempertanyakan arah kebudayaan. Bukan kematian penulis yang kita saksikan, tetapi transformasinya ke bentuk yang lebih kompleks.

Sumber:

Barthes, R. (1977). Image, Music, Text. Translated by Stephen Heath. London: Fontana Press.

Braidotti, R. (2013). The Posthuman. Cambridge: Polity Press.

AI: ChatGPT

Post Comment