Pa Dedi, Yeuh…!
Di negeri yang punya kementerian untuk segala hal kecuali rasa malu, rakyatnya memilih jalur bypass dalam menyampaikan keluh-kesah. Bukan pada ketua RT, bukan pada kepala dinas, bukan pula pada presiden. Mereka lebih memilih mengunggah video ke TikTok, membuka dengan sapaan familiar yang mengandung humor, harap, sekaligus kedekatan emosional: “Pa Dedi, yeuh…”
Sebuah kalimat yang sederhana tapi sarat makna. “Yeuh” adalah kata dalam bahasa Sunda yang bisa berarti “nih” atau “ini dia”—tapi juga bisa berarti “tolong perhatikan ini, dong.” Kadang dituturkan dengan nada serius: laporan jalan rusak, rumah ambruk, atau orang tua yang tidak bisa berobat. Tapi tak jarang juga dituturkan dengan tawa: seseorang nyungsep dari sepeda, anak kecil main lumpur, bahkan pasangan yang berseteru karena uang belanja. Semua ditujukan kepada satu orang: Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang kini tampil bukan hanya sebagai pemimpin administratif, tapi juga ikon populis, penghubung antara rakyat dan kekuasaan—tanpa protokol, tanpa birokrasi, dan tanpa kumis.
Fenomena ini bukan sekadar soal medsos. Ia adalah pertunjukan kekuasaan gaya baru, di mana birokrasi digantikan algoritma, dan perjumpaan fisik digeser ke pertemuan digital yang tetap saja terasa personal. Dalam Security, Territory, Population (2007), Michel Foucault menyebut model kekuasaan semacam ini sebagai pastoral power—yakni kekuasaan yang tidak memerintah melalui paksaan, melainkan membimbing, merawat, dan mendengar. Kekuasaan yang bekerja bukan di ruang sidang, tetapi di ruang batin.
Dedi Mulyadi, dengan gayanya yang akrab, tampil bukan sebagai atasan, melainkan sebagai bapak. Dan dalam masyarakat yang dikecewakan oleh sistem birokrasi yang dingin dan lamban, kehadiran sosok “bapak” yang bisa disentuh, diajak bercanda, atau dijadikan konten, adalah bentuk kekuasaan yang sangat efektif. Ia tidak memaksa, tidak mengatur, cukup hadir dan merespons. Maka ketika netizen menyapa, “Pa Dedi, yeuh…”, itu bukan cuma panggilan, melainkan pengakuan terhadap struktur kekuasaan yang telah berubah: dari hierarki formal menjadi relasi afektif.
Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menegaskan bahwa kekuasaan bekerja paling efisien ketika tidak terlihat seperti kekuasaan. Ia justru hadir dalam bentuk perhatian, simpati, bahkan candaan. Kekuasaan yang “membiarkan” rakyat tertawa sambil mengeluh, seolah-olah tidak sedang diatur, padahal sedang diproduksi sebagai subjek yang pasrah namun terhubung.
Di sini, produksi subjek terjadi tidak melalui sanksi, tetapi melalui perhatian dan respons. Mereka yang membuat konten dengan “Pa Dedi, yeuh…” menjadi subjek yang dikenal, ditonton, dan kadang—jika algoritma mengizinkan—dibantu. Namun di balik semua itu, mereka juga sedang dikurung dalam logika kuasa yang menyaratkan pengakuan akan ketergantungan.
Rakyat tidak meminta sistem bekerja. Mereka meminta “Pa Dedi” menengok. Itu adalah puncak dari kuasa pastoral: kekuasaan yang mem-personifikasi sistem, sehingga kegagalan struktural bisa dihibur dengan kunjungan personal.
Dalam konteks ini, Stuart Hall memberi kita alat penting untuk memahami bagaimana Dedi Mulyadi direpresentasikan di ruang digital. Dalam Representation (1997), Hall menyatakan bahwa representasi bukanlah refleksi, tetapi konstruksi makna. Maka saat publik menyapa Dedi dengan gaya akrab, bahkan bercanda, mereka sedang membangun sosok pemimpin yang “satu frekuensi”. Ia bukan pejabat, ia “Pa Dedi”. Bukan pemimpin yang jauh, tapi teman ngobrol yang kebetulan punya jabatan.
Representasi ini bekerja melalui media sosial yang demokratis—siapapun bisa mengakses, siapapun bisa menyapa. Tapi dalam proses itu, terbentuk pula batas antara siapa yang bisa bicara, dan siapa yang hanya bisa mengomentari. Mereka yang muncul dalam video sebagai pengadu atau pelapor, meskipun sering dibingkai sebagai “suara rakyat”, sesungguhnya tetap berada di posisi properti moral: tokoh tanpa agensi yang keberadaannya hanya sah sejauh ia menyedihkan, lucu, atau cukup viral.
Kekuatan representasi “Pa Dedi, yeuh…” justru ada pada kemampuannya membaurkan realitas dan ilusi. Dalam satu sisi, ini menunjukkan rakyat merasa dekat dengan pemimpinnya—relasi yang sangat jarang terjadi di republik yang biasanya lebih senang membangun jarak. Tapi di sisi lain, kedekatan itu bisa menjadi kabut yang menutupi kegagalan struktural. Jika jalan rusak harus menunggu Pa Dedi lewat, lalu untuk apa dinas pekerjaan umum? Jika warga sakit harus mengadu di TikTok, lalu ke mana BPJS?
Pertanyaan-pertanyaan ini tenggelam dalam gelombang video yang menyentuh dan menghibur. Sebab dalam politik afeksi, seperti diuraikan Lauren Berlant dalam Cruel Optimism (2011), yang dicari bukan solusi, tetapi kenyamanan. Dan kenyamanan itu, hari ini, berbentuk Gubernur yang mau turun langsung ke lapangan dan sesekali melempar jokes di Instagram.
Tentu kita tidak sedang menyalahkan Dedi Mulyadi. Ia mungkin hanya menjalankan peran. Tapi peran itu tidak bisa dilepaskan dari logika representasi dan kekuasaan. Ketika seorang gubernur tampil sebagai juru tolong satu-satunya, maka yang terjadi bukanlah desentralisasi kuasa, tapi pemusatan simbolik. Dan ketika netizen bercanda sambil mengadu, maka yang mereka bangun bukan hanya kedekatan, tapi juga harapan palsu bahwa negara bisa dipersonifikasikan dalam satu orang saja.
“Pa Dedi, yeuh…” telah menjadi frasa yang melampaui fungsi awalnya. Ia kini adalah simbol zaman: ketika negara bubar di atas kertas, tapi dihidupkan ulang di beranda YouTube. Ketika rasa sakit lebih layak ditayangkan daripada dituntutkan. Dan ketika kekuasaan datang bukan dalam bentuk kebijakan, melainkan balasan komentar: “Hatur nuhun, bade ka ditu ayeuna.”
Dengan gaya pastoral yang tidak mengintimidasi dan kemampuan representasi yang menghibur, Dedi Mulyadi telah menjadi bukan hanya gubernur, tapi algoritma yang hidup: selalu muncul ketika rakyat butuh hiburan, harapan, dan sejumput rasa diperhatikan. Apakah ini kemajuan demokrasi? Apakah ini manfaat politik digital? Atau sekadar cara baru untuk menunda kegagalan yang sama?
Di negeri yang gemar melucu dalam kesusahan, pertanyaan itu mungkin hanya bisa dijawab dengan satu kalimat:
“Pa Dedi, yeuh…”
Post Comment