Merayakan Kabar Burung
Merayakan Kabar Burung
Di sebuah negeri yang gemar berpesta meski dapurnya kosong, kabar burung sering kali lebih meriah daripada kenyataan. Agustus lalu, saat jalanan dipenuhi teriakan demonstran, media sosial justru dipenuhi pesta hoax. Seakan-akan rakyat menemukan candu baru: bukan lagi rokok atau kopi sachet, melainkan gosip digital yang bisa dihisap bersama-sama.
Ambil contoh video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang katanya menyebut guru dan dosen sebagai “beban negara.” Video itu jelas-jelas hoax. Semua tahu. Tapi apa gunanya tahu kalau kenyataan lebih pahit daripada kabar palsu? Kebijakan pajak yang mencekik, krisis ekonomi yang tak kunjung reda, dan dompet yang makin tipis membuat masyarakat memilih setuju pada ilusi. Atau lebih tepatnya, memilih merayakan ilusi itu.
Dalam bahasa Slavoj Žižek, fantasi ideologis bekerja bukan untuk menipu kita agar percaya, tapi agar kita tetap bisa menikmati meski kita tahu itu dusta. Kita tahu itu bohong, tapi kita ikut tertawa, mengutuk, dan membagikannya. Seperti menonton wayang: penonton sadar dalangnya ada di balik layar, tapi mereka tetap terhanyut oleh pertunjukan.
Hoax kedua datang dari akun X yang tak pernah ada: @sahroniberdikari. Konon akun itu melontarkan pernyataan kasar setelah rumah politikus Ahmad Sahroni digeruduk massa. Padahal akun tersebut tidak berjejak, hanya kumpulan tangkapan layar tanpa sumber. Tapi netizen tetap riuh, tetap mengomentari, tetap membagi-bagikan. Mengapa? Karena amarah mereka lebih nyata daripada akun yang fiktif itu.
Ahmad Sahroni sebelumnya memang sempat berkata bahwa orang yang ingin membubarkan DPR adalah orang paling tolol di dunia. Kalimat itu sudah cukup untuk membakar hati demonstran. Jadi, ketika muncul kabar burung dalam bentuk akun palsu, rakyat tidak peduli apakah ia nyata atau tidak. Yang penting ada sesuatu yang bisa dirayakan bersama, sesuatu yang bisa mewakili dendam kolektif.
Barangkali, inilah yang disebut era post-truth: kebenaran tidak lagi ditimbang berdasarkan fakta, melainkan berdasarkan seberapa besar ia mampu menggugah emosi. Hoax bukan sekadar kebohongan; ia adalah panggung karnaval, tempat rakyat bisa menyalurkan frustrasi yang selama ini terpendam. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena mereka haus akan simbol-simbol yang bisa memberi rasa lega. Seperti penonton sepak bola yang tahu timnya payah tapi tetap meneriakkan yel-yel seakan menang, masyarakat tahu kabar itu palsu, tapi tetap bersorak.
Merayakan hoax berarti merayakan luka. Sebab dalam kabar palsu yang viral itu, terselip kebenaran emosional yang tak bisa dipungkiri: guru dan dosen memang sering dianggap tidak penting oleh negara; DPR memang dianggap tidak bekerja; pajak memang terasa seperti palu godam yang menghantam rakyat kecil. Hoax menjadi semacam cermin bengkok: meski retak dan tak akurat, ia memantulkan sesuatu yang sesungguhnya ada.
Demikianlah, pesta kabar burung ini mengingatkan kita bahwa masyarakat tidak sekadar mencari kebenaran, tetapi juga mencari pelepasan emosi. Dan terkadang, penghiburan itu datang dalam bentuk berita bohong yang dirayakan bersama-sama, dengan tawa getir dan jari yang gatal menekan tombol share. Hoax tidak mati dibantah atau dianggap musuh, justru ia hidup dan dirayakan seperti lagu dangdut di hajatan kampung: semua tahu suaranya fals, tapi siapa peduli, yang penting bisa joget bersama.
Post Comment