Tanah yang Mengingat
Tanah yang Mengingat
Seri Permakultur #1
Mungkin kita berpikir tanah hanyalah benda mati—sekadar hamparan cokelat yang menunggu dicangkul. Namun bagi siapa yang mau mendengarkan, tanah adalah arsip kehidupan. Ia mengingat, meski diam. Ia mencatat, meski tanpa huruf.
Di kebun kecil belakang rumah, aku pernah menanam cabai di bekas gundukan kompos. Setiap kali menyiram, muncul aroma samar: campuran daun kering, hujan pertama, dan sesuatu yang seperti masa lalu. Saat itu aku mengerti, tanah tidak hanya menyimpan sisa-sisa organik, tapi juga kenangan akan tangan-tangan yang menyentuhnya. Ia mengingat kebaikan dan kelalaian kita—dan mengembalikannya dalam bentuk yang setara.
Dalam pandangan permakultur, langkah pertama untuk merawat bumi bukanlah mencangkul atau menanam, melainkan mengamati. Observe and interact — melihat dengan mata yang sabar, menyentuh dengan hati yang terbuka. Tanah tidak bisa disembuhkan oleh tangan yang terburu-buru. Ia perlu dipahami seperti kita memahami seseorang yang pernah terluka: dengan waktu, empati, dan kesediaan untuk diam mendengar. Di situlah kebijaksanaan bermula—dari kesediaan untuk menunggu bahasa alam berbicara pelan-pelan.
Orang dulu menyebut bumi dengan penuh penghormatan: ibu pertiwi. Ada rasa kedekatan dan kasih di dalamnya—seolah tanah adalah ibu yang menimang kehidupan. Dalam pepatah lemah cai jadi nyawa urang, tanah dan air bukan sekadar sumber pangan, tetapi sumber identitas. Maka ketika kita menanam, sejatinya kita sedang mengingat siapa diri kita: bagian dari tubuh bumi yang sama.
Namun manusia modern sering memperlakukan tanah seperti pabrik—dipaksa terus berproduksi tanpa jeda. Kita lupa bahwa tanah pun perlu beristirahat, seperti tubuh yang lelah. Pupuk kimia memang memberi hasil cepat, tapi seperti kata pepatah, “yang tumbuh tanpa proses, cepat pula layu.” Tanah yang dipaksa tanpa cinta perlahan kehilangan napasnya; mikroorganisme lenyap, cacing menghilang, dan aroma tanah yang harum setelah hujan berganti menjadi bau logam.
Mengamati tanah berarti juga mengamati diri sendiri. Apakah kita memberi ruang bagi kehidupan untuk berproses, atau kita menuntut hasil secepat mungkin? Tanah mengajarkan kita tentang kesabaran—tentang ritme yang tak bisa dipercepat. Ia tahu kapan waktunya kering, kapan ia menunggu hujan, dan kapan ia menumbuhkan sesuatu yang baru setelah kehilangan.
Dalam permakultur, hubungan dengan tanah bukan relasi produksi, melainkan pertemanan. Kita tidak bekerja di atas tanah, tetapi bersama tanah. Saat cangkul menyentuh permukaan bumi, sebenarnya dua dunia sedang bertemu: dunia dalam diri manusia dan dunia dalam diri tanah. Keduanya saling bercermin. Maka, setiap kali kita menanam, kita pun sedang menanam kesadaran—bahwa kehidupan tumbuh dari hubungan, bukan dari kepemilikan.
Tanah yang sehat mengingat kita dengan cara yang lembut: dengan tunas yang tumbuh, dengan aroma yang menenangkan, dengan kesuburan yang kembali tanpa diminta. Ia tidak menuntut balasan, cukup dihormati. Karena pada akhirnya, tanahlah yang akan menjadi rumah kita semua—tempat segala kenangan kembali ke akar, dan segala kehidupan bermula lagi.
Tulisan lainnya dapat dibaca di blog HumaNiniNora
Post Comment