Tentang Permakultur
Di setiap genggam tanah, sebenarnya tersimpan cerita yang lebih tua dari manusia. Ia mengingat langkah-langkah yang pernah melintasinya, sisa hujan yang pernah menetes di situ, dan akar yang diam-diam tumbuh tanpa gembar-gembor. Tanah adalah ingatan bumi, dan manusia sejatinya hanyalah bagian kecil dari ingatan itu.
Pada tahun-tahun ketika dunia mulai panas dan manusia semakin jauh dari kebun, dua orang dari selatan bumi, Bill Mollison dan David Holmgren, memutuskan untuk belajar langsung dari tanah. Mereka menyebut hasil pencarian mereka permaculture — singkatan dari permanent agriculture, yang kemudian meluas menjadi permanent culture, budaya yang berkelanjutan. Permakultur bukan sekadar cara bertani, melainkan cara melihat dunia: bagaimana kehidupan bisa dirancang agar meniru kebijaksanaan alam — berlapis, saling terhubung, tanpa limbah, dan selalu memberi kesempatan pada kehidupan baru.
Dari sinilah lahir tiga etika sederhana yang dalam: merawat bumi, merawat manusia, dan berbagi keadilan. Dalam bahasa Sunda, nilai-nilai ini terasa akrab: silih asih, silih asah, silih asuh. Merawat bumi adalah bentuk asih, kasih yang tidak meminta imbalan. Merawat manusia — termasuk diri sendiri — adalah asah, mengasah hati agar tidak tumpul oleh keserakahan. Dan asuh adalah berbagi, menjaga keseimbangan agar hidup tidak menumpuk pada satu tangan saja.
Permakultur menolak cara berpikir yang melihat tanah sebagai alat produksi. Ia mengajarkan bahwa kebun bukan pabrik, melainkan rumah yang hidup — tempat air berputar, daun gugur menjadi humus, cacing bekerja tanpa gaji, dan manusia belajar rendah hati. Dalam pandangan ini, setiap rumah adalah miniatur bumi. Dindingnya melindungi, atapnya menampung hujan, halamannya menumbuhkan kehidupan, dan penghuninya belajar mengelola energi — cahaya, air, makanan, dan kasih sayang — agar selalu berputar dalam keseimbangan. Jika bumi rusak, itu karena rumah-rumah kecil di dalamnya kehilangan irama alami itu.
Kini, di zaman ketika manusia lebih sering menyentuh layar daripada tanah, permakultur menawarkan jalan pulang yang sederhana. Di tengah sempitnya lahan kota, sebatang serai di pot atau sayur kangkung di ember bekas bisa menjadi simbol harapan. Di balkon kecil pun, prinsip permakultur tetap berlaku: tangkap air hujan, rawat tanah, tanam yang bisa dimakan, dan biarkan daun gugur menjadi pupuk bagi dirinya sendiri.
Permakultur relevan hari ini bukan hanya karena ia menjawab krisis iklim dan kerusakan tanah, tapi karena ia menyembuhkan krisis batin manusia modern — rasa terputus dari bumi, dari waktu, bahkan dari dirinya sendiri. Ia mengajarkan untuk melambat, untuk memperhatikan kembali aliran air di parit, suara serangga di malam hari, bau tanah setelah hujan. Karena dari situ kita belajar: bumi tidak butuh diselamatkan; yang butuh disembuhkan adalah cara kita memperlakukannya.
Seri esai ini–yang akan saya publikasikan secara berkala di facebook pribadi dan website Niskala News–adalah upaya untuk mengingat kembali kebijaksanaan yang pernah tumbuh di antara akar-akar kehidupan. Bahwa menanam bukan pekerjaan kecil, melainkan laku spiritual yang menuntun manusia kembali menjadi bagian dari dunia yang ia tempati. Sebab setiap benih yang kita tanam, sekecil apa pun, sesungguhnya sedang mengajari kita satu hal: bagaimana caranya rumah — dan diri kita sendiri — bisa kembali menjadi bumi yang menumbuhkan kehidupan.
Tulisan-tulisan lainnya dapat dibaca di blog HumaNiniNora.
Post Comment