Benih di Ujung Jari

Benih di Ujung Jari

Benih di Ujung Jari
Seri Permakultur#2

Ada perasaan tertentu ketika kita memegang benih. Di antara ujung jari dan biji kecil itu, ada jarak yang nyaris tak terlihat—jarak antara harapan dan kenyataan. Benih tak pernah menjanjikan apa pun, tapi mengandung kemungkinan. Ia kecil, nyaris tak berarti, namun di dalamnya tertulis seluruh rancangan kehidupan: akar, batang, daun, bahkan aroma yang belum pernah kita cium.

Menanam benih bukan sekadar keterampilan bertani, tapi latihan untuk percaya bahwa sesuatu yang kecil bisa bertumbuh. Di zaman ketika segalanya cepat dan kian cepat dan semakin cepat lagi, menanam benih terasa seperti harap yang dilafalkan perlahan: tidak terdengar, tapi bekerja. Kita menaruhnya di tanah, menutupnya dengan jari, lalu menunggu tanpa tahu apakah ia akan tumbuh atau tidak. Dan dalam ketidaktahuan itulah, ada yang tumbuh dalam imajinasi.

Kadang seseorang menanam bukan karena punya lahan, tapi karena ia ingin punya harapan. Dalam setiap benih ada semacam janji diam-diam—bahwa hidup selalu punya ruang untuk mulai lagi. Seorang teman pernah berkata, ia menanam sawi di pot bekas saat hidupnya terasa gelap. “Aku ingin melihat sesuatu tumbuh,” katanya. Dan benar saja, ketika tunas pertama muncul, wajahnya berubah. Bukan karena sawinya, tapi karena dirinya mulai tumbuh bersama tanaman itu.

Benih tidak menyerah pada kesunyian. Ia tumbuh dalam gelap, di bawah tanah, tanpa tepuk tangan siapa pun. Tapi justru di situlah mukjizatnya: pertumbuhan tak selalu perlu disaksikan. Dalam permakultur, prinsip obtain a yield bukan sekadar soal hasil panen, melainkan tentang apa yang kita tuai dari proses menanam itu sendiri. Kadang hasilnya bukan buah, melainkan keberanian untuk melanjutkan hidup.

Tapi menanam benih bukan sekadar romantisme, tapi cara menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima. Benih yang ditanam dengan tangan yang terburu-buru cenderung tak tumbuh sempurna, sama seperti hati yang kehilangan kesabaran tak pernah menemukan kedamaian.

Barangkali, itu sebabnya, orang-orang yang sedang terluka bisa saja menemukan kesembuhan di tengah kebun. Tanah menerima segala bentuk kehilangan tanpa bertanya, benih menumbuhkan kembali makna dari hal-hal yang sederhana. Ketika jari kita menyentuh tanah, kita menyentuh sesuatu yang lebih tua dari segala kesedihan. Dan ketika tunas muncul, seolah bumi berbisik: lihat, bahkan dari kegelapan pun, sesuatu bisa tumbuh.

Benih di ujung jari itu memang kecil, tapi ia mengandung keberanian untuk memulai. Ia tidak menunggu cuaca sempurna atau waktu yang pasti. Ia tidak perlu lahan luas berhektar-hektar. Ia hanya menunggu niat dan sedikit keberanian berimajinasi tentang yang akan datang.

Post Comment