Tangan yang Kotor

Tangan yang Kotor

Tangan yang Kotor
Seri Permakultur#3

Tanah punya caranya sendiri untuk bicara pada manusia. Kadang lewat aroma basah setelah hujan, kadang lewat lumpur yang melekat di telapak tangan. Tidak ada yang suci di kebun—tidak juga yang kotor dapat diartikan najis. Hanya ada kehidupan yang terus bekerja perlahan, mendekati diam.

Aku sering memperhatikan bagaimana jari-jariku berubah warna setiap kali mencangkul atau menyiangi rumput. Warna hitam itu seolah menempel lebih dalam dari sabun mana pun. Tapi di situlah tanah menghapus jarak antara tubuh dan dunia. Di bawah kuku yang kotor, ada sejenis ketenangan yang tak bisa dibeli dari toko mana pun.

Bekerja di kebun bukan perkara moral atau kemuliaan. Ini hanya tentang kembali menyentuh sesuatu yang ada. Kita telah cukup lama berurusan dengan layar dan kata-kata saja, kadang sampai lupa bahwa kehidupan juga punya tekstur. Daun yang lembap, akar yang rapuh, ulat kecil yang menggeliat di bawah kompos—semuanya bisa jadi pengingat bahwa kita masih bisa merasa jijik dan kagum sekaligus.

Ada momen tertentu ketika mencabut gulma terasa seperti menghapus pikiran yang tak perlu. Gerakannya sederhana, tapi punya irama. Tangan bergerak, pikiran meluruh. Dan di sela itu, muncul rasa yang sulit dijelaskan: semacam kebersihan yang datang bukan dari air dan sabun, tapi dari keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Manusia mengenal imajinasi: mengabdi pada alam. Bukan karena merasa lebih rendah, tapi karena tahu diri. Mereka bekerja di sawah tanpa banyak bicara, seperti sedang berdialog dengan sesuatu yang tak kelihatan. Ada kesunyian yang padat di sana, seperti doa yang tidak diucapkan tapi dimengerti.

Bukan hanya di kota, banyak tangan yang alergi menyentuh tanah. Kita sibuk menjaga kebersihan, tapi kehilangan kedekatan. Barangkali itu sebabnya hati sering terasa kering: terlalu steril dari lumpur, terlalu takut kotor. Padahal, tubuh ini diciptakan dari unsur yang sama dengan tanah—dan mungkin hanya dengan kembali kotor, kita bisa merasa bersih lagi?

Setiap kali mencuci tangan setelah menanam, aku sering berlama-lama menatap air yang membawa sisa-sisa tanah ke lubang pembuangan. Ada rasa kehilangan kecil di situ, seperti berpisah dengan sesuatu yang baru saja menyembuhkan. Tapi kita tahu, besok tanah itu akan kembali dalam bentuk lain: mungkin jadi daun muda, mungkin bunga kecil yang tumbuh tanpa rencana.

Tangan yang kotor bukan tanda kerja keras, tapi bisa jadi tanda keterhubungan. Ia bukan simbol moral, melainkan kesaksian bahwa kita masih mau menyentuh kehidupan dengan cara yang sederhana. Di dunia yang sibuk mencari kesucian dalam kebersihan, tanah di tangan seperti keberterimaan: pada lumpur, pada gagal, pada segala tanda yang maknanya bisa dipikirkan ulang.

Post Comment