Semua Menjadi Zombie – Cerita Pendek Wahyu Heriyadi

Semua Menjadi Zombie – Cerita Pendek Wahyu Heriyadi

Dadan telah menjadi zombie. Soleh telah menjadi zombie. Tuti telah menjadi zombie. Rina telah menjadi zombie. Ujang telah menjadi zombie. Cynthia telah menjadi zombie. Joko telah menjadi zombie. Maria telah menjadi zombie. Kenji telah menjadi zombie. Rizal telah menjadi zombie. Yani telah menjadi zombie. Bagus telah menjadi zombie. Anna telah menjadi zombie. Miguel telah menjadi zombie. Sari telah menjadi zombie. Putri telah menjadi zombie. Ivan telah menjadi zombie. Hiro telah menjadi zombie. Yuliana telah menjadi zombie. Ahmad telah menjadi zombie. Riko telah menjadi zombie. Elena telah menjadi zombie. Wati telah menjadi zombie. Nora telah menjadi zombie. Samuel telah menjadi zombie. Raka telah menjadi zombie. Romi telah menjadi zombie. Anisa telah menjadi zombie. Laila telah menjadi zombie. Bruno telah menjadi zombie. Maya telah menjadi zombie. Wahyu telah menjadi zombie. Dewi telah menjadi zombie. Farah telah menjadi zombie. Tom telah menjadi zombie. Bambang telah menjadi zombie. Jina telah menjadi zombie. Lisa telah menjadi zombie. Rosa telah menjadi zombie. Arif telah menjadi zombie. Nono telah menjadi zombie. Karin telah menjadi zombie. Suryo telah menjadi zombie. Nadia telah menjadi zombie. Paul telah menjadi zombie. Raisa telah menjadi zombie. Ilham telah menjadi zombie. Vera telah menjadi zombie. Teguh telah menjadi zombie. Mina telah menjadi zombie. Rafi telah menjadi zombie. Tania telah menjadi zombie. Lukman telah menjadi zombie.

Budi telah menjadi zombie. Fatima telah menjadi zombie. George telah menjadi zombie. Iwan telah menjadi zombie. Sinta telah menjadi zombie. Kamal telah menjadi zombie. Rio telah menjadi zombie. Saskia telah menjadi zombie. Kevin telah menjadi zombie.
Rudy telah menjadi zombie. Dewangga telah menjadi zombie. Sakura telah menjadi zombie. Nina telah menjadi zombie. Harun telah menjadi zombie. Jihan telah menjadi zombie.
Kenny telah menjadi zombie. Ucup telah menjadi zombie. Putra telah menjadi zombie.
Yolanda telah menjadi zombie. Arman telah menjadi zombie. Chika telah menjadi zombie.
Tomo telah menjadi zombie. Stefan telah menjadi zombie. Linda telah menjadi zombie.
Andra telah menjadi zombie. Felix telah menjadi zombie. Eka telah menjadi zombie.
Sofyan telah menjadi zombie. Damar telah menjadi zombie. Lia telah menjadi zombie.
Rangga telah menjadi zombie. Monica telah menjadi zombie. Guntur telah menjadi zombie.
Rita telah menjadi zombie. Bayu telah menjadi zombie. Selma telah menjadi zombie.
Jonas telah menjadi zombie. Dion telah menjadi zombie. Amira telah menjadi zombie. Rino telah menjadi zombie. Alex telah menjadi zombie. Elisa telah menjadi zombie. Rendy telah menjadi zombie.

Teguh telah menjadi zombie lagi, meski katanya sudah disembuhkan.

Sarah telah menjadi zombie. Acan telah menjadi zombie. Yoko telah menjadi zombie. Clara telah menjadi zombie. Rania telah menjadi zombie. Fahri telah menjadi zombie.
Kiko telah menjadi zombie. Jasper telah menjadi zombie. Laras telah menjadi zombie.
Indra telah menjadi zombie. Miko telah menjadi zombie. Joanna telah menjadi zombie.
Ridho telah menjadi zombie. Shinta telah menjadi zombie. Randy telah menjadi zombie.
Hendra telah menjadi zombie. Sela telah menjadi zombie.

Arman telah menjadi zombie lagi—tapi kali ini dia menggigit ibunya. Ibunya, Lastri, telah menjadi zombie. Ayahnya, Suroso, telah menjadi zombie. Adiknya, Dini, telah menjadi zombie. Dan kucingnya, Miko, mengeong pelan sebelum juga menjadi zombie.

Semua yang di warung kopi telah menjadi zombie. Pemilik warung, Pak Didi, telah menjadi zombie. Pembeli pertama, Nurul, telah menjadi zombie. Yang duduk di pojok membaca koran—entah siapa namanya—telah menjadi zombie juga. Pedagang sate di seberang jalan telah menjadi zombie. Anak kecil yang membeli es lilin telah menjadi zombie.
Penjual es lilin pun akhirnya menjadi zombie.

Lalu seseorang menulis di tembok:

“KOTA INI SUDAH MENJADI ZOMBIE.”

Seorang bernama Beny menulis itu. Tak lama kemudian, Beny telah menjadi zombie. Polisi yang mencoba menenangkan warga telah menjadi zombie. Reporter TV yang menyiarkan kabar darurat telah menjadi zombie di siaran langsung. Kameramennya, yang menjerit mematikan kamera, juga telah menjadi zombie.


Penyiar radio berkata, “Tetap tenang, tetap di rumah,” lalu diam, karena dia telah menjadi zombie. Sutradara sinetron yang masih syuting di studio Cibubur telah menjadi zombie. Seluruh kru sinetron ikut menjadi zombie. Artis utamanya, Zaskia, menangis di depan kamera, lalu—telah menjadi zombie.

Satu per satu nama menghilang dari dunia, digantikan dengan satu kalimat yang sama.
Raden telah menjadi zombie. Tari telah menjadi zombie. Ivan telah menjadi zombie. Melly telah menjadi zombie. Togar telah menjadi zombie.

Ucup—oh, Ucup sudah disebut, tapi ia telah menjadi zombie lagi.

Sekali sembuh, dua kali tumbang, tiga kali lapar.
Mereka semua telah menjadi zombie.

Di pinggir kota, seseorang bernama Lintang menulis daftar nama di buku tulis:
“Dadan telah menjadi zombie. Soleh telah menjadi zombie. Tuti telah menjadi zombie…”
Ia menulis terus sampai tangannya gemetar.
Ia menulis agar tidak lupa siapa saja yang telah hilang.
Namun saat ia menulis nama terakhir—“Lintang”—tangannya berhenti. Karena Lintang telah menjadi zombie.

Lalu buku itu ditemukan oleh seseorang bernama Miko kedua, bukan kucing, manusia. Miko membuka buku itu dan membaca pelan. Setiap nama terasa seperti mantra.
Dadan telah menjadi zombie.
Soleh telah menjadi zombie.
Tuti telah menjadi zombie.
Dan Miko merasa… kepalanya berat.
Matanya buram.
Ia menulis satu kalimat terakhir:
“Miko telah menjadi zombie.”

Di luar jendela, langit berwarna abu-abu. Burung-burung telah menjadi zombie. Pohon-pohon diam, tapi akarnya menggeliat. Air sungai mengalir pelan, berbau besi dan darah.
Orang-orang di jembatan—Semua telah menjadi zombie.

Lalu muncul nama-nama tanpa wajah: Seseorang bernama Z-001 telah menjadi zombie.
Unit 47 telah menjadi zombie. Nomor 888 telah menjadi zombie. Sistem keamanan kota telah menjadi zombie. Komputer yang menghitung korban telah menjadi zombie, dengan algoritma yang berputar di lingkaran tak berujung.

Sementara itu, di kota kecil di pesisir, Bayu kedua, penulis cerpen, mengetik di laptopnya:
“Dadan telah menjadi zombie.”

Ia berhenti. “Tidak, ini hanya cerita,” katanya.
Tapi listrik padam. Dan layar laptop terakhir kali menampilkan kalimat:
“Bayu telah menjadi zombie.”

Nama-nama terus berganti. Riska telah menjadi zombie. Fajar telah menjadi zombie.
Kezia telah menjadi zombie. Tomi telah menjadi zombie. Ali telah menjadi zombie.
Irina telah menjadi zombie. Gilang telah menjadi zombie. Rosa kedua telah menjadi zombie.
Yones telah menjadi zombie. Nico telah menjadi zombie. Fitri telah menjadi zombie.
Helmi telah menjadi zombie. Zara telah menjadi zombie. Leon telah menjadi zombie.
Evi telah menjadi zombie. Nur telah menjadi zombie. Sagara telah menjadi zombie.
Tino telah menjadi zombie. Bambang kedua telah menjadi zombie. Rafi kedua telah menjadi zombie. Raisa kedua telah menjadi zombie.

Mereka semua telah menjadi zombie, atau mungkin telah menjadi sesuatu yang lebih sunyi. Sampai akhirnya tak ada lagi yang menyebut nama. Yang tersisa hanya gema kalimat yang sama di udara:
“Telah menjadi zombie.”
Kalimat itu menempel di dinding, di udara, di layar, di mimpi.

Dan di antara reruntuhan kota, satu anak kecil bangun dari tempat tidur, memegang boneka kain. Ia melihat sekeliling yang hening. Boneka itu lusuh, namanya Nino kecil. Anak itu berbisik, “Nino telah menjadi zombie.” Boneka itu perlahan bergerak. Anak itu tersenyum.
Dan anak itu pun telah menjadi zombie.

Akhirnya, hanya tersisa suara. Tak ada lagi nama. Tak ada lagi siapa-siapa.

Post Comment