Fantasi Slow Living
Ada tren baru yang menyebar pelan seperti kabut pagi di Instagram: hidup lambat. Slow living. Kembali ke desa, kembali ke kebun, kembali ke segala sesuatu yang tampak sederhana, damai, dan indah. Di layar kecil, kehidupan tampak begitu wangi. David Beckham muncul dengan pakaian kerja rapi, memetik sayuran dari kebunnya sambil tersenyum, seolah tidak ada rumput yang gatal, tidak ada nyamuk yang bersarang di balik daun, tidak ada semut yang sedang mencari tempat untuk menggigit. Kamera menangkap semuanya dalam cahaya keemasan, seperti Tuhan baru saja mengganti filter dunia.
Jutaan orang menonton itu penuh haru. Mereka membayangkan diri mereka menanam basil di pagi hari, memelihara lebah di sore hari, lalu memasak makan malam dari bahan-bahan organik yang tumbuh sendiri dari tanah yang konon penuh cinta. Semuanya tampak mungkin, asalkan kita meninggalkan kota, meninggalkan stres, dan kembali menjadi manusia yang selaras dengan alam. Selaras dengan alam—frasa yang selalu diucapkan dengan lembut, padahal tak ada satupun yang benar-benar mengerti apa itu artinya.
Timothy Morton mungkin akan menghela napas panjang melihat semua ini. Bukan karena ia membenci keharmonisan, tetapi karena ia tahu sebagian besar “keharmonisan” itu adalah ilusi fotografi. Slow living, dalam bentuk yang paling populer, adalah romantisme lama yang dibungkus ulang oleh estetika digital. Kita tidak melihat kehidupan desa; kita melihat kehidupan desa versi orang kota, versi orang kaya, versi sutradara iklan parfum. Kita tidak sedang melihat alam; kita sedang melihat alam yang sudah dirapikan dari rambutnya, dijahitkan baju baru, dan disuruh berdiri di depan kamera sambil tersenyum.
Jika kita benar-benar masuk ke kebun, kita tahu akar yang kita duduki bisa jadi rumah ular kecil yang sedang malas bergerak. Ranting pohon yang tampak cantik bisa menyimpan sarang tawon yang tidak suka diganggu. Rumput yang kita tiduri demi kebutuhan healing bisa membuat kulit gatal sepanjang hari, dan tanah itu sendiri tidak pernah bersih: selalu ada cacing, serangga, organisme kecil yang bekerja tanpa peduli apakah kita sedang butuh ketenangan atau sedang merekam konten. Alam tidak peduli kita sedang burnout. Alam bekerja sesuai hukumnya sendiri, hukumnya yang gelap dan tak romantis.
Di sinilah dark ecology menyodorkan kaca pembesar. Morton tidak meminta kita membenci slow living, tapi ia ingin kita mengerti bahwa hidup lambat dalam versi selebriti global tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Beckham bisa lambat karena ada kecepatan orang lain yang menopangnya: ada tim yang memelihara kebun, ada pekerja yang merawat tanah, ada modal yang membeli lahan luas, ada teknologi yang memastikan semuanya bersih dan estetis. Lambatnya Beckham dibangun dari kerja cepat orang lain. Sementara di desa, orang-orang yang benar-benar bertani tidak pernah punya pilihan untuk “living slowly.” Mereka bangun pagi, berurusan dengan cuaca yang tidak bisa ditebak, dengan hama yang tak peduli pada algoritma, dengan harga pasar yang jatuh naik seperti video viral. Tidak lupa kenyinyiran tetangga yang tak ada habisnya.
Romantisme desa memang menarik, tapi hanya dari jarak aman. Begitu kita mendekat, kita melihat sesuatu yang berbeda: bukan keheningan spiritual, tapi tubuh yang bekerja, keringat yang menetes, tanah yang keras, suara ayam yang tidak pernah selaras dengan kebutuhan konten. Namun justru karena semua itu, desa adalah tempat yang nyata. Bukan panggung. Bukan studio. Bukan feed Instagram.
Dalam logika Morton, slow living yang jadi tren hari ini adalah bentuk lain dari fantasi ekologis—kita ingin merasa dekat dengan alam tanpa benar-benar dekat. Kita ingin menikmati bayangannya tanpa menyentuh kulitnya. Kita mencintai alam sebagai ide, bukan sebagai makhluk hidup yang memiliki keinginan, bahaya, dan irama yang tidak pernah tunduk pada kalender hobi manusia. Kita seolah ingin berkata, “Alam harus menenangkan saya,” tetapi lupa bahwa alam tidak didesain untuk jadi penenang siapa pun. Alam hanya berjalan, tumbuh, memangsa, dan membusuk.
Dan ketika kita terlalu terpikat pada versi estetisnya, kita kehilangan kemampuan untuk melihat kenyataan ekologis yang lebih gelap: bahwa dunia sudah rusak, bahwa kerusakan itu tidak bisa disembuhkan hanya dengan menanam rosemary, dan bahwa kehancuran ekologis bukan masalah kecepatan hidup, tapi masalah struktur ekonomi global, industri besar, dan konsumsi yang tidak pernah berhenti. Slow living menjadi semacam obat penenang—membuat kita merasa baik tanpa benar-benar memperbaiki apa pun.
Di titik ini, dark ecology mengajak kita untuk berhenti menipu diri sendiri. Kembali ke alam bukan berarti berbaring di rumput dan membuat konten. Kembali ke alam bisa berarti digigit nyamuk, mengotori tangan, merasakan kelembaban, bertemu bahaya. Mungkin di situlah hubungan ekologis yang jujur justru bisa dimulai. Tanpa romantisme, tanpa filter, tanpa keyakinan palsu bahwa hidup lambat akan menyelamatkan planet.
Slow living mungkin menyenangkan untuk ditonton. Tapi mencintai alam dengan jujur berarti menerima bahwa dalam se


Post Comment