Ilusi Back to Nature
Ada mantra baru yang diserukan manusia modern dengan penuh harapan: back to nature. Kembali ke alam. Kembali ke akar. Kembali ke sesuatu yang katanya murni dan menyembuhkan. Di media sosial, mantra itu menemukan panggung emasnya. Sebuah lokasi … —kita samarkan saja menjadi XXX—mendadak berubah dari jalur biasa menjadi ikon mini dari ziarah ekologis instan. Kabutnya direkam dari sudut yang tepat, hijaunya dipoles kontrasnya, dan jalannya difilmkan seolah tidak pernah dilewati knalpot bising atau truk yang batuk.
Dalam video-video yang viral itu, alam tidak hanya tampak indah—ia tampak patuh. Rumput seperti permadani hotel, embun seperti kosmetik, dan angin seperti fitur premium yang hanya bertiup untuk kebutuhan healing. Tidak ada serangga yang mengganggu, tidak ada tanah yang licin, tidak ada bau kotoran ternak, tidak ada sampah plastik yang nyangkut di batang kayu. Bahkan suara-suara alam terasa seperti hasil mixing studio, seakan dunia memang didesain untuk relaksasi manusia yang sedang burnout.
Masalahnya sederhana: itu bukan alam.
Itu adalah alam setelah disunting.
Di bawah estetika yang disiapkan kamera, kita lupa bahwa alam tidak pernah sepenuhnya ramah. Kita hanya diperlihatkan sisi yang jinak, sisi yang aman untuk difoto dan layak untuk diposting. Kita tidak diundang melihat bagian yang lengket, yang gatal, yang berbahaya, yang tidak menuruti keinginan manusia. Dan itulah masalah besar dari “back to nature” dalam era digital: kita tidak kembali ke alam, melainkan kembali ke fantasi tentang alam.
Timothy Morton, dengan kegelapan ekologinya, tentu akan tersenyum miring melihat semua ini. Baginya, romantisme ekologis adalah bentuk nostalgia yang salah alamat. Kita merindukan sesuatu yang tidak pernah sepenuhnya kita pahami. Kita merindukan alam yang jinak, padahal alam tidak pernah punya kewajiban untuk jinak. Kita merindukan alam yang menyembuhkan, padahal fungsi penyembuhan itu hanya ada dalam imajinasi manusia yang terlalu sering disakiti kehidupannya sendiri.
Morton menegaskan satu hal yang tidak pernah ingin diakui oleh estetika wisata: alam tidak pernah dibuat untuk kebutuhan manusia. Alam bukan dekorasi, bukan studio terapi, bukan spa terbuka. Alam adalah jaringan organisme yang saling memakan, saling bersaing, saling bertahan. Dan di dalamnya, manusia hanyalah satu titik kecil yang mudah tergelincir.
Itu sebabnya konten-konten tentang XXX terasa seperti upacara kosmetik: kita datang untuk melihat, bukan untuk benar-benar hadir. Kita mencari kesunyian digital, bukan keheningan sejati. Kita tidak ingin merasakan alam; kita ingin merasakan versi alam yang sudah aman dari risiko. Dan di situ letak ironi besarnya: “kembali ke alam” malah menjauhkan kita dari alam itu sendiri.
Dalam kacamata dark ecology, semua ini bukan sekadar ilusi—melainkan usaha manusia untuk menghilangkan kenyataan bahwa alam juga bisa tidak ramah. Kita tidak ingin melihat lumpur, kita ingin melihat tekstur. Kita tidak ingin mendengar suara motor, kita ingin mendengar kabut. Kita tidak ingin tahu dinamika ekonomi desa, kita hanya ingin sunrise yang bisa masuk ke Reels.
Dan saat kita terus berada di tengah fantasi ini, kita semakin jauh dari memahami kerusakan ekologis yang sesungguhnya. Kita merasa sudah dekat dengan alam padahal kita hanya dekat dengan kameranya. Kita merasa sudah kembali ke akar padahal kita hanya mendekati daun yang fotogenik.
Mungkin itulah tragedi paling halus dari “back to nature” hari ini: kita kembali ke sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita sentuh. Kita pulang ke rumah yang tidak kita kenali. Kita mencintai sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita dekati kecuali melalui layar.
Dan mungkin, jika kita benar-benar ingin kembali ke alam, kita harus mulai dari menerima sesuatu yang jauh lebih sederhana dan jauh lebih pahit: alam tidak pernah pergi.
Kita saja yang terus mencarinya di tempat yang salah.

Post Comment