Membongkar Romantisme Alam

Membongkar Romantisme Alam

Di media sosial, alam tampak seperti spa raksasa yang diciptakan untuk kebutuhan healing manusia modern. Ada orang berbaring manis di hamparan rumput yang bersih seperti iklan deterjen. Ada perempuan memeluk pohon sambil memejamkan mata, seakan batang kayu itu adalah pasangan ideal yang tak mungkin menyakiti. Ada lelaki duduk di atas akar besar sambil menulis caption panjang tentang “kembali ke diri sendiri.” Kabut terlihat lembut, hutan terlihat ramah, sungai terlihat seperti tempat baptis spiritual. Alam ditampilkan sebagai mother. Sebuah rahim yang tak pernah marah, tak pernah menusuk, tak pernah menolak kita.

Padahal siapa saja yang pernah benar-benar masuk ke hutan tahu bahwa alam tidak pernah selembut itu. Akar yang kita jadikan tempat duduk bisa saja menyembunyikan ular yang menunggu suhu tubuh tertentu. Ranting-ranting yang tampak fotogenik kadang menjadi rumah tawon hutan yang tersinggung oleh getaran sekecil tepukan tangan. Daun-daun yang tampak seperti permadani hijau bisa menyimpan ulat berbulu yang gatalnya bertahan berhari-hari. Bahkan rumput yang dipakai untuk piknik estetik bisa saja menyembunyikan serangga kecil yang menularkan penyakit.

Romantisme terhadap alam sering kali lahir dari jarak—jarak yang diciptakan oleh kamera, oleh framing, oleh estetika. Kita memuja apa yang tak kita sentuh. Kita mencintai apa yang tak kita dekati. Kita jatuh cinta pada versi alam yang sudah dipotong, disaring, diatur warna dan kontrasnya. Kita jarang mencintai alam yang menggigit balik.

Di titik ini, dark ecology menawarkan perspektif yang lebih jujur, lebih pahit, dan lebih membebaskan: bahwa alam tidak pernah dan tidak akan pernah sepenuhnya aman. Bahwa ada bahaya dalam setiap belokan sungai, ada racun dalam beberapa daun, ada organisme kecil yang tidak peduli apakah kita sedang healing atau sedang kabur dari deadline kampus. Morton menyebut bahwa romantisme alam adalah bentuk kolonisasi estetis—kita memaksa alam tampil sesuai keinginan manusia, seperti panggung yang harus indah, menenangkan, dan penuh kedamaian.

Dengan kata lain: kita hanya mau mencintai alam yang sudah disterilkan dari sifat alaminya.

Padahal, jika kita jujur, alam tidak pernah diciptakan untuk menenangkan manusia. Alam juga tidak pernah berjanji akan menjaga kita dari bahaya. Kita hanya salah membaca tanda-tanda. Kita membayangkan hutan adalah tempat penitipan jiwa, padahal hutan adalah ruang dari jutaan kehendak non-manusia: organisme kecil, predator besar, jamur yang ingin menyebar, pohon yang sedang rebutan cahaya, tanah yang sedang merekah. Di dalamnya tidak ada pusat, tidak ada raja, tidak ada yang memberi izin dan melarang. Yang ada hanyalah hidup yang bertumbuh dan mati yang membusuk.

Romantisme alam dalam konten-konten digital membuat kita lupa pada itu semua. Ia menjadikan alam pasif, padahal ia selalu aktif. Ia menjadikan alam objek pemulihan diri, padahal ia juga menyimpan ancaman. Kesalahan itu melahirkan ketidaksiapan: kita masuk hutan tanpa sadar bahwa tubuh kita memiliki batas; kita mengira alam menyambut, padahal ia hanya ada—tidak peduli kita datang atau pergi.

Di sinilah kejujuran dark ecology bekerja. Morton tidak meminta kita membenci alam, hanya memintai kita untuk tidak membohongi diri sendiri. Untuk menerima bahwa mencintai alam berarti juga mencintai ketidakterdugaan, ketidaknyamanan, dan ketidakteraturan. Cinta ekologis bukan cinta tanpa luka; ia justru lahir karena kita memahami bahwa keterhubungan selalu mengandung risiko.

Ironisnya, ketika kita menerima sisi gelap ini, hubungan manusia dengan alam justru menjadi lebih sehat. Tidak lagi romantis berlebihan, tidak lagi memaksa alam menjadi tempat spa spiritual, tidak lagi menuntut hutan bersikap halus. Kita kembali pada posisi yang lebih wajar: manusia sebagai bagian dari alam, bukan sebagai penikmat utama yang menuntut pelayanan.

Dan mungkin di situlah letak kejujuran paling radikal:
bahwa alam tidak diciptakan untuk menghibur kita.
Bahwa keindahan bukan jaminan keselamatan.
Bahwa ketenangan kadang hanya latar dari sesuatu yang sedang memerangkap.
Bahwa cinta pada alam bukan berarti menyangkal bahwa ia juga menakutkan.

Dark ecology mengajak kita berhenti berpura-pura.
Menerima alam bukan hanya sebagai gambar indah, tetapi sebagai dunia yang hidup.
Penuh cahaya dan bayangan.
Penuh keindahan dan bahaya.
Penuh kehidupan dan kehancuran.

Dan justru di sanalah ia menjadi lengkap.
Dan mungkin di sanalah cinta ekologis menemukan bentuknya—cinta tanpa ilusi.

Post Comment