NARKOBA DAN MAKANAN

NARKOBA DAN MAKANAN

Manusia tidak perlu jarum suntik atau serbuk putih untuk menjadi pecandu. Terkadang, cukup dengan satu gigitan burger yang meleleh di mulut, satu teguk soda yang berbuih manis, atau segenggam keripik yang tak pernah cukup satu. Tanpa kita sadari, makanan modern telah berevolusi menjadi narkoba legal yang dijual di setiap sudut kota, dikemas dengan warna-warna cerah, dan dipromosikan dengan senyum ramah di layar televisi.

Obesitas tidak lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari kecanduan yang direkayasa. Industri makanan memahami psikologi manusia lebih baik dari psikolog itu sendiri. Mereka menciptakan kombinasi garam, gula, dan lemak dalam takaran yang nyaris sempurna untuk membuat kita terus ingin lagi dan lagi. Seperti yang diungkap Michael Moss dalam Salt Sugar Fat (2013), perusahaan makanan raksasa merancang produknya agar menimbulkan “bliss point”—titik kebahagiaan yang merangsang otak layaknya morfin.

Jika narkoba membuat orang sakau saat berhenti menggunakannya, makanan juga sama. Pernahkah Anda merasa lemas, mudah marah, atau pusing ketika mencoba mengurangi konsumsi gula? Itu adalah gejala putus zat, sama seperti pecandu yang sedang berusaha lepas dari heroin. Bedanya, tidak ada rehabilitasi resmi bagi pecandu gula dan junk food—kita dibiarkan berjuang sendiri dalam lingkaran ketagihan ini.

Fenomena kecanduan makanan ini bukanlah mitos. Penelitian di National Institute on Drug Abuse menunjukkan bahwa makanan tinggi gula dan lemak memicu pelepasan dopamin di otak, sama seperti kokain. Dalam eksperimen pada tikus, hewan yang terbiasa diberi makanan tinggi gula menunjukkan gejala sakau ketika gula dihentikan dari diet mereka (Avena et al., 2008). Jika tikus saja bisa kecanduan, bagaimana dengan manusia yang setiap hari dibombardir oleh iklan makanan cepat saji?

Kita tidak hanya bicara soal selera, tetapi manipulasi. Perusahaan makanan menggunakan bahan tambahan seperti monosodium glutamat (MSG) untuk meningkatkan rasa dan menciptakan ketergantungan. Mereka juga memahami bahwa manusia adalah makhluk yang malas secara naluriah: semakin mudah suatu makanan dikonsumsi, semakin tinggi kecenderungan untuk berlebihan. Itu sebabnya kentang goreng lebih menggoda daripada kentang rebus, dan es krim lebih sulit ditolak dibandingkan buah segar.

Makanan olahan telah menjadi candu yang lebih berbahaya karena ia terselubung dalam norma sosial. Tidak ada stigma bagi seseorang yang makan tiga porsi burger dalam sekali duduk, tetapi ada stigma bagi mereka yang menolak makanan itu dengan alasan kesehatan. “Ayo makan, cuma sekali ini,” “Jangan sok sehat,” atau “Diet terus, kapan bahagianya?” adalah bentuk tekanan sosial yang membuat banyak orang sulit lepas dari kecanduan ini.

Masalahnya, makanan yang adiktif ini tidak sekadar membuat tubuh membesar. Ia juga mengubah otak dan perilaku. Konsumsi gula berlebihan dikaitkan dengan gangguan kognitif, peningkatan risiko depresi, dan kecenderungan impulsif yang lebih tinggi (Lustig, 2017). Artinya, bukan hanya lingkar pinggang yang membengkak, tetapi juga potensi krisis mental dan emosional yang lebih luas.

Di dunia yang semakin sadar akan bahaya rokok dan alkohol, makanan adiktif tetap lolos dari pengawasan ketat. Iklan makanan tinggi gula masih menghiasi saluran anak-anak, supermarket masih menawarkan paket diskon untuk junk food, dan sekolah masih menjual minuman manis di kantin mereka. Sementara itu, masyarakat dibiarkan berjuang sendiri untuk menahan diri dari godaan yang diciptakan oleh sistem.

Beberapa negara mulai bertindak. Inggris, misalnya, telah menerapkan pajak gula untuk mengurangi konsumsi minuman bersoda (UK Government, 2018). Meksiko pun melakukan hal yang sama setelah tingkat obesitas mereka melejit (Colchero et al., 2016). Namun, industri makanan tidak tinggal diam. Mereka merombak strategi pemasaran, mengganti “gula” dengan istilah yang lebih samar seperti “sirup jagung fruktosa tinggi” atau “pemanis alami” agar produk mereka tetap laku.

Industri makanan tidak akan berhenti menciptakan produk adiktif, sama seperti kartel narkoba yang tidak akan berhenti memproduksi kokain. Bedanya, produk mereka legal dan dijual di rak-rak toko tanpa batasan usia. Kita hidup di dunia di mana anak-anak lebih mudah mendapatkan permen daripada mendapatkan sayur segar. Jika ini bukan bentuk kecanduan massal, lalu apa namanya?

Solusi dari kecanduan ini tidaklah mudah. Edukasi gizi saja tidak cukup jika sistem masih mendukung produksi makanan adiktif. Diperlukan regulasi ketat yang mengontrol komposisi makanan olahan, pembatasan iklan junk food, serta insentif bagi produsen yang berkomitmen menghadirkan makanan sehat. Konsumen juga harus lebih sadar, lebih kritis, dan lebih berani untuk menolak godaan yang disuguhkan di depan mata.

Makanan, pada dasarnya, adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, ketika ia diproduksi dengan niat untuk menciptakan ketergantungan, maka ia tak ubahnya narkoba yang membius peradaban. Kita sedang menghadapi krisis yang lebih besar dari sekadar obesitas—kita menghadapi hilangnya kontrol diri akibat manipulasi sistematis.

Tentu, kita masih bisa menikmati makanan enak. Tetapi, apakah kita makan karena benar-benar lapar, atau karena kita sudah terlalu lama diperbudak oleh zat-zat yang membuat kita ingin terus mengunyah? Jawaban dari pertanyaan ini bisa menentukan apakah kita masih punya kendali atas tubuh kita, atau kita sudah menjadi pecandu yang bahkan tidak menyadari bahwa dirinya kecanduan.

Referensi

  • Avena, N. M., Rada, P., & Hoebel, B. G. (2008). Evidence for sugar addiction: Behavioral and neurochemical effects of intermittent, excessive sugar intake. Neuroscience & Biobehavioral Reviews.
  • Colchero, M. A., Rivera-Dommarco, J., Popkin, B. M., & Ng, S. W. (2016). In Mexico, evidence of sustained consumer response two years after implementing a sugar-sweetened beverage tax. Health Affairs.
  • Lustig, R. H. (2017). The Hacking of the American Mind: The Science Behind the Corporate Takeover of Our Bodies and Brains. Avery.
  • Moss, M. (2013). Salt Sugar Fat: How the Food Giants Hooked Us. Random House.
  • UK Government. (2018). Soft Drinks Industry Levy comes into effect. Gov.uk.

1 comment

Post Comment