Makanan dan Perilaku

Leonardo

Makanan dan Perilaku

Manusia adalah makhluk yang makan, dan dari makan itu ia membentuk dirinya sendiri. Apa yang dikunyahnya, ditelannya, dan diserap oleh tubuhnya bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sejarah, budaya, dan nasibnya. Seorang filsuf mungkin akan berkata bahwa manusia tidak hanya makan untuk bertahan hidup, tetapi untuk menemukan makna dalam keberadaannya. Namun, dalam dunia yang diatur oleh kapitalisme makanan, kita semakin jauh dari memahami apa yang kita makan, dan akibatnya, semakin jauh pula dari memahami diri kita sendiri.

Ada yang percaya bahwa makanan menentukan perilaku, bahkan kepribadian seseorang. Tantra Waworuntu, pegiat permakultur dari Yogyakarta, dalam sebuah dokumenter di program Beginu, Kompas, berspekulasi bahwa makanan memiliki sifat yang bisa berpengaruh pada mental pemakannya. Rumput liar yang tumbuh tanpa bantuan manusia, yang bertahan dari hujan dan kemarau, barangkali bisa membuat pemakannya lebih mandiri, lebih tahan banting.

Sementara itu, tanaman hasil pertanian yang ditanam dengan perawatan intensif—dipupuk, disiram, dan dilindungi dari hama—mungkin melahirkan karakter yang lebih lunak, terbiasa dimanja oleh sistem yang menjamin pertumbuhannya. Jika rumput liar melatih daya juang, maka sayuran yang tumbuh dalam kenyamanan ladang yang dikontrol manusia mungkin justru mencerminkan kerapuhan.

Dari sini, makanan instan yang diproduksi massal—penuh pengawet, penambah rasa, dan pemanis buatan—hanyalah kelanjutan dari pola ini, menciptakan manusia yang semakin lemah, manja, dan tidak siap menghadapi kenyataan hidup.

Bukan hanya kepercayaan tradisional yang mengatakan demikian, tetapi juga ilmu pengetahuan. Studi tentang epigenetika menunjukkan bahwa makanan yang dikonsumsi seseorang dapat memengaruhi ekspresi gennya. Penelitian pada kelaparan Belanda tahun 1944-1945 membuktikan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu yang kekurangan gizi memiliki perubahan epigenetik yang berdampak pada metabolisme mereka seumur hidup (Heijmans et al., 2008: 17046). Ini berarti makanan yang kita konsumsi hari ini bukan hanya menentukan berat badan atau kesehatan kita besok, tetapi juga nasib anak-cucu kita.

Namun, jika makanan bisa mengubah tubuh, bisakah ia juga mengubah jiwa? Neurosains menyebut bahwa makanan berperan dalam produksi neurotransmitter di otak. Gula, misalnya, dapat meningkatkan kadar dopamin, memberikan sensasi euforia yang mirip dengan kokain (Volkow & Baler, 2015: 75). Tidak heran jika seseorang bisa kecanduan makanan manis, mengalami kegelisahan ketika tidak mendapatkannya, dan merasa bahagia sesaat setelah sepotong kue cokelat masuk ke mulutnya. Industri makanan tentu memahami hal ini dan dengan senang hati memanfaatkan fakta tersebut untuk menjebak konsumen dalam siklus lapar-beli-makan-menyesal yang tak berkesudahan.

Ada alasan mengapa kapitalisme makanan tidak menyukai kesadaran. Makanan sehat, yang berasal dari tanah yang subur dan penuh mineral, tidak memerlukan iklan atau kampanye pemasaran. Ia tumbuh sendiri, seperti halnya manusia dulu bisa mencari makan di hutan tanpa harus bergantung pada supermarket. Sebaliknya, makanan ultraprocessed harus diciptakan dengan strategi: dirancang agar membuat ketagihan, dikemas agar tampak menggoda, dan dipromosikan sebagai solusi bagi hidup yang sibuk. Jika makanan liar menciptakan manusia yang mandiri, maka makanan pabrik menciptakan manusia yang patuh, yang selalu lapar, tetapi tidak pernah kenyang.

Fakta bahwa masyarakat modern semakin gemuk tetapi semakin kekurangan gizi bukanlah paradoks, melainkan logika dari sistem ekonomi yang mengutamakan laba dibandingkan kesehatan. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih banyak orang mati akibat makan berlebihan dibandingkan kelaparan (Harari, 2017: 23). Namun, yang lebih mengerikan adalah kehidupan yang dibentuk oleh makanan itu sendiri: pola pikir yang lamban, emosi yang tidak stabil, dan ketergantungan pada sistem yang mengendalikan apa yang boleh dan tidak boleh kita makan.

Jika makanan benar-benar bisa mengubah perilaku, maka pertanyaannya adalah: perilaku seperti apa yang sedang kita biakkan hari ini? Jika kita membiarkan tubuh kita dipenuhi dengan gula dan lemak trans, apakah kita juga sedang mengembangkan generasi yang mudah tergoda, mudah menyerah, dan enggan berpikir kritis? Mungkin inilah tujuan akhir dari sistem pangan modern: bukan hanya menjual makanan, tetapi juga membentuk jenis manusia yang diinginkan pasar—manusia yang selalu lapar, tetapi tidak pernah cukup kuat untuk melawan.

Namun, masih ada harapan. Makanan bisa menjadi alat perlawanan. Kembali kepada tanah, mengenali sumber makanan, dan menanam sendiri apa yang kita makan bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga politis. Seperti yang dikatakan oleh Sir Albert Howard, pelopor pertanian organik, “Kesehatan tanah, kesehatan tanaman, dan kesehatan manusia tidak dapat dipisahkan” (Howard, 1947: 43). Dengan kata lain, jika kita ingin mengubah cara kita berpikir dan bertindak, kita harus mulai dengan mengubah apa yang kita makan.

Makanan memang bukan hanya tentang nutrisi atau selera, tetapi juga tentang siapa diri kita dan siapa yang ingin kita “jadi”. Namun, bagi banyak orang di kota, pilihan ini tidak selalu mudah. Makanan sehat sulit diakses, sementara makanan buruk berlimpah di setiap sudut—di minimarket, di restoran cepat saji, bahkan dalam festival makanan yang diselenggarakan oleh swasta dan pemerintah. Media sosial dipenuhi promosi makanan yang menjanjikan kenikmatan instan, tanpa sedikit pun peringatan akan konsekuensi jangka panjangnya.

Dalam situasi seperti ini, kita tidak harus langsung mencapai kesempurnaan dalam pola makan. Mengurangi makanan buruk pun sudah menjadi langkah kesadaran. Tidak semua orang bisa membeli sayuran organik atau memiliki waktu untuk memasak makanan sehat setiap hari, tetapi siapa pun bisa mulai dengan mengurangi, atau berhenti, mengonsumsi produk-produk yang jelas-jelas merusak tubuh. Dengan setiap keputusan kecil—mengurangi minuman bersoda, menolak junk food yang dikemas dengan iklan manipulatif—kita sudah melawan sistem yang berusaha menjadikan kita sekadar konsumen pasif.

Makan bukan hanya sekadar mengisi perut, tetapi juga memilih: apakah kita ingin menjadi bagian dari sistem yang membuat kita lemah, ataukah kita ingin menciptakan kehidupan yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih merdeka? Jawaban dari pertanyaan itu ada di piring kita masing-masing.

Daftar Pustaka

  • Harari, Yuval Noah. 2017. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. HarperCollins.
  • Heijmans, Bastiaan T. et al. 2008. “Persistent Epigenetic Differences Associated with Prenatal Exposure to Famine in Humans.” Proceedings of the National Academy of Sciences, 105(44): 17046-17049.
  • Howard, Sir Albert. 1947. The Soil and Health: A Study of Organic Agriculture. Devin-Adair Company.
  • Volkow, Nora D., & Baler, Ruben D. 2015. “Addiction Science: Uncovering Neurobiological Complexity.” Neuropharmacology, 76(B): 75-82.

1 comment

Post Comment