Tantra Waworuntu

Ilustrasi: Leonardo

Tantra Waworuntu

Tanah tak pernah berbohong. Ia mencatat setiap jejak yang manusia tinggalkan, entah sebagai kesuburan atau kehancuran. Di lereng perbukitan Yogyakarta, seorang pria bernama Tantra Waworuntu membaca tanah seperti kitab tua yang penuh kebijaksanaan. Ia tak mencangkul, tak membajak, tak memaksa tanah untuk tunduk. Sebaliknya, ia membiarkan tanah bernapas, berproses, dan menciptakan ekosistemnya sendiri. Di Bumi Langit, tempat ia menanam keyakinannya, makanan bukan sekadar sesuatu yang masuk ke perut, melainkan kisah panjang tentang hubungan manusia dengan alam.

Namun, dunia tak lagi memahami bahasa tanah. Pasar swalayan menawarkan sayuran yang tampak hijau tapi lahir dari tanah yang mati. Daging ayam yang dikemas rapi tak lagi membawa aroma kandang, melainkan jejak hormon dan antibiotik. Kapitalisme telah mereduksi makanan menjadi komoditas tanpa sejarah, tanpa jiwa. “Kita tidak lagi makan untuk hidup,” kata Tantra, “kita makan untuk memenuhi mesin industri.” Maka, yang kita kunyah sebenarnya bukan lagi makanan, melainkan ilusi.

Kemandirian pangan bukan sekadar pertanian, tetapi perlawanan terhadap sistem yang mengendalikan apa yang kita makan. Seperti yang dikatakan Michael Pollan, “Pemakan dalam sistem industri memang merupakan ‘mata rantai yang hilang’ dalam evolusi rantai makanan. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari rantai itu, melainkan hanya sebagai konsumen belaka.” (Pollan, 2006: 134). Kita telah kehilangan kendali atas makanan kita sendiri. Kita tak lagi tahu dari mana makanan berasal, siapa yang menanamnya, bagaimana ia diproses. Kita hanya mengunyah dan membayar. Dan dalam proses itu, kita menjadi makhluk paling asing bagi makanan yang kita makan.

Tantra Waworuntu menolak menjadi makhluk asing itu. Ia mengajarkan bahwa makanan haruslah bagian dari ekosistem yang sehat, bukan sekadar produk industri. Dengan metode pertanian alami yang disebut permaculture, ia membiarkan tanah bekerja sebagaimana mestinya. Tidak ada pestisida kimia, tidak ada pupuk sintetis, hanya sistem yang meniru alam: tanah yang menutup dirinya sendiri, akar yang mencari jalannya sendiri, dan serangga yang memiliki peran masing-masing. Di dunia modern, pendekatan ini terdengar seperti kegilaan. Namun, di zaman ketika makanan lebih banyak lahir dari pabrik ketimbang tanah, barangkali justru yang waras adalah mereka yang dianggap gila.

Di balik kemasan produk pangan yang steril, ada cerita lain yang sengaja disembunyikan. Ada tanah yang diracuni pestisida, ada buruh tani yang diupah murah, ada korporasi yang mematenkan benih agar petani tak lagi bisa menanam tanpa membeli. Sistem pangan modern adalah bentuk kolonialisme baru, di mana kebebasan seseorang untuk makan dengan sehat dikendalikan oleh segelintir elit bisnis. Seperti yang ditulis Vandana Shiva, “Makanan, di tangan korporasi, telah menjadi senjata untuk mengendalikan masyarakat” (Shiva, 2016: 72).

Ironisnya, meski dunia semakin maju, kita semakin kehilangan kendali atas makanan. Ketergantungan pada impor membuat negara-negara berkembang rapuh menghadapi krisis pangan. Ketika pandemi melanda, rak-rak supermarket kosong, harga bahan pokok melonjak, dan orang-orang panik karena tak bisa membeli apa yang selama ini mereka anggap remeh. Mereka lupa bahwa makanan bukan berasal dari pabrik, melainkan dari tanah. Mereka lupa bahwa kemandirian pangan adalah ketahanan hidup.

Di Bumi Langit, Tantra Waworuntu mengembalikan kesadaran itu. Ia tak hanya menanam sayur dan buah, tetapi juga menanam gagasan: bahwa makanan adalah kehidupan, bahwa manusia harus kembali bertanggung jawab atas apa yang mereka makan. Ia mengajarkan bahwa menanam adalah tindakan politis, bahwa memilih makanan bukan sekadar keputusan konsumsi, tetapi sebuah perlawanan terhadap sistem yang membuat manusia terpisah dari alamnya sendiri.

Namun, perjuangan ini bukan tanpa tantangan. Sistem pangan industrial telah menciptakan generasi yang terbiasa dengan makanan instan, cepat saji, dan siap santap. Kebiasaan ini membentuk pola pikir yang melihat pertanian sebagai sesuatu yang kotor, melelahkan, dan tidak praktis. Siapa yang mau repot menanam jika bisa membeli? Siapa yang mau menunggu panen jika bisa memesan makanan dalam hitungan menit? Kenyamanan telah menjadi candu, dan candu ini telah membuat kita lupa bahwa di balik setiap gigitan ada harga yang harus dibayar: tanah yang rusak, udara yang tercemar, tubuh yang perlahan diracuni.

Tantra menawarkan alternatif: hidup lebih sederhana, lebih sadar, lebih selaras dengan alam. Ia tidak menyuruh semua orang menjadi petani, tetapi ia mengajak kita untuk memahami bahwa makanan bukan sekadar barang dagangan. Makanan adalah warisan budaya, identitas, dan kesehatan. Dengan memahami dari mana makanan berasal, bagaimana ia diproduksi, dan siapa yang diuntungkan dalam prosesnya, kita bisa mulai mengambil kembali kendali atas apa yang kita makan.

Bumi Langit bukan hanya tempat bertani, tetapi ruang refleksi. Di sana, tanah bukan sekadar media tanam, tetapi guru yang mengajarkan keseimbangan. Di sana, makanan bukan sekadar konsumsi, tetapi meditasi. Tantra Waworuntu telah menunjukkan bahwa jalan menuju kebebasan dimulai dari apa yang kita makan.

Mungkin, dalam dunia yang serba instan ini, kemandirian pangan terdengar seperti romantisme belaka. Tapi bukankah setiap revolusi dimulai dari sebuah gagasan yang tampak mustahil? Jika kita ingin dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan, maka kita harus mulai dari yang paling mendasar: makanan yang kita pilih untuk kita makan.

Esai ini disusun berdasarkan wawancara Tantra Waworuntu dalam program Beginu yang ditayangkan oleh Kompas, berjudul “Tantra Waworuntu, Bumi Langit, dan Permakultur untuk Memahami Alam.”

Daftar Pustaka:

  • Pollan, Michael. 2006. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. Penguin Press.
  • Shiva, Vandana. 2016. Who Really Feeds the World? The Failures of Agribusiness and the Promise of Agroecology. Zed Books.

Post Comment