Budaya Makan
Di setiap piring yang tersaji, terdapat jejak sejarah, aroma tanah, dan teka-teki budaya. Makanan bukan sekadar pengisi perut, ia adalah kehadiran masa lalu, narasi yang dibentuk oleh tradisi, geografi, dan kosmologi masyarakat. Di balik sejumput garam dan segenggam beras, terdapat makna yang jauh melampaui kebutuhan biologis. Ia adalah simbol kolektif, medium komunikasi antar generasi, dan saksi dari perubahan zaman.
Lihatlah bagaimana makanan menjadi bahasa tanpa kata. Di Minangkabau, rendang bukan hanya lauk pauk, tapi manifestasi filosofi hidup yang sabar dan berlapis makna. Di Jawa, selamatan dengan tumpeng menjadi ritual sosial yang menjahit harmoni dan doa. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, makanan mampu menjembatani identitas antarbangsa—seperti sushi yang mewakili Jepang, atau pizza yang tak lekang dari citra Italia. Identitas budaya melekat kuat dalam cita rasa, cara memasak, hingga etika penyajian.
Namun dalam arus modernitas, makna makanan perlahan digerus. Rak-rak supermarket menggantikan pawon nenek, bumbu instan menenggelamkan lesung batu, dan budaya kuliner berubah menjadi sekadar konsumsi cepat. Ketika makanan kehilangan konteksnya, kita pun kehilangan sebagian dari pernyataan kolektif kita. Bagi Claude Fischler, “makanan adalah vektor identitas, dan hilangnya keterikatan pada makanan lokal adalah bentuk amnesia” (Fischler, 1988: 280).
Dalam sejarah Nusantara pun, makanan telah menjadi penanda kebudayaan. Keraton Yogyakarta punya sajian khas seperti gudeg yang mengandung nilai filosofi tentang keuletan dan ketekunan. Di Bali, lawar bukan sekadar masakan, tapi bagian dari ritus keagamaan. Kita tidak hanya memakan makanan, kita mewarisi nilai dari setiap masakan yang diwariskan turun-temurun. Mustikarasa, buku ensiklopedia resep masak khas Nusantara yang disusun pada masa Presiden Soekarno, menjadi bukti nyata bahwa makanan dianggap sebagai bagian dari warisan kebangsaan, layak didokumentasikan layaknya candi dan manuskrip.
Soekarno sendiri menegaskan pentingnya pelestarian budaya melalui lidah rakyatnya. Dalam pengantar Mustikarasa, ia menulis bahwa bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang memproduksi mesin, tapi yang mampu menjaga dan mengembangkan kebudayaan kulinernya. Ia sadar bahwa politik pangan tidak bisa dilepaskan dari politik kebudayaan. Makanan adalah bentuk nasionalisme yang bisa disantap, dihidangkan, dan diwariskan.
Sialnya, hari ini makanan tradisional sering dianggap kuno, sementara makanan cepat saji yang dianggap lebih modern dan lebih bergengsi, semakin luas pengaruhnya berkat foto-foto viral di media sosial. Anak-anak muda lebih mengenal burger ketimbang bubur pedas Kalimantan, lebih akrab dengan ramen daripada rawon. Ini bukan sekadar perubahan selera, tapi degradasi makna. Mungkin, fenomena ini sama dengan apa yang dibayangkan Roland Barthes, makanan telah direduksi menjadi komoditas belaka dan kehilangan mitos budaya yang melekat di dalamnya (Barthes, 1979: 25).
Pada kenyataannya yang lain, budaya kuliner juga dipengaruhi oleh kelas sosial. Makanan khas daerah tertentu bisa menjadi barang yang kelewat mahal ketika masuk restoran urban, padahal dulunya adalah makanan rakyat jelata. Fenomena ini menunjukkan bahwa makanan bisa menjadi simbol kelas, sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu dalam Distinction bahwa preferensi rasa adalah produk dari habitus sosial yang dibentuk oleh posisi dalam struktur kelas (Bourdieu, 1984: 179). Ketika makanan tradisional dibungkus ulang menjadi eksklusif, kita sebetulnya sedang menyaksikan bagaimana identitas budaya dikomodifikasi. Dalam hal ini, penghargaan agak sulit dibedakan dari eksploitasi ekonomi.
Yang menarik dari budaya makan hari-hari ini adalah munculnya gerakan slow food, urban farming, hingga restoran yang mengusung konsep farm-to-table. Ini seperti upaya merebut kembali makna makanan sebagai identitas lokal. Kita menyaksikan generasi muda yang mulai menelusuri resep nenek moyangnya, menggali ulang kekayaan kuliner lokal, dan menjadikannya bagian dari narasi kebangsaan. Di sinilah harapan itu tumbuh—bahwa makanan tidak hanya menjadi pengisi perut, tapi pengingat akar.
Makanan adalah cara kita bercerita tentang siapa diri kita. Ia mengandung bahasa, nilai, sejarah, dan harapan. Ketika kita menyantap sepiring soto Betawi, kita sedang mengunyah sejarah interaksi budaya Arab, Tionghoa, dan Melayu. Ketika kita menyajikan tape ketan dalam upacara adat, kita sedang menyatakan bahwa fermentasi bukan hanya proses biologis semata, tapi juga sebuah ritual.
Oleh karena itu, menjaga makanan tradisional dapat diartikan sebagai upaya menjaga ingatan. Kita tidak hanya harus melestarikan resep, tapi juga cara memasak, cara menyajikan, dan cara memaknainya. Makanan harus kembali menjadi bagian dari kesadaran, bukan sekadar urusan perut sekadarnya. Bagi ahli bahasa seperti Claude Lévi-Strauss, makanan adalah bahasa, dan cara kita mengolah serta menyantapnya adalah tata bahasa budaya (Lévi-Strauss, 1966: 35).
Pada akhirnya, jika kita kehilangan makanan kita, kita juga kehilangan diri kita sendiri. Seperti dikatakan Brillat-Savarin (1825:12): “Tell me what you eat, and I will tell you what you are.”
Daftar Pustaka:
- Barthes, R. (1979). Mythologies. Hill and Wang.
- Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
- Brillat-Savarin, J. A. (1825). The Physiology of Taste.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1967). Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia.
- Fischler, C. (1988). “Food, Self and Identity.” Social Science Information, 27(2), 275–292.
Deri Hudaya. Tulisan-tulisannya dapat dibaca juga di HumaNiniNora. Saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya berjudul Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.
Post Comment