Kisah Panjang Rekayasa Makanan

Leonardo AI

Kisah Panjang Rekayasa Makanan

“Kuluu wa’syrabuu wa laa tusrifuu innahu laa yuhibbul musrifiin.”
Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
(QS. Al-A’raf: 31)

Konon, manusia adalah makhluk yang berpikir. Tapi siapa sangka, dalam urusan makan, kita lebih sering hanya mengunyah tanpa berpikir. Perut lapar bisa membuat orang bertindak gegabah, tapi perut terlalu kenyang justru membuat orang malas berpikir. Di sinilah letak tragedi kecil yang terjadi tiga kali sehari: kita mengisi tubuh dengan sesuatu yang kita sebut makanan, tapi tak lagi benar-benar tahu dari mana asalnya, bagaimana prosesnya, dan mengapa kita begitu tergila-gila padanya. Kita makan untuk hidup, katanya. Tapi kini kita justru hidup untuk terus makan—dan itu pun makan yang semakin jauh dari definisi makanan.

Mari kita jujur. Tubuh kita bukan lagi medan perang antara lapar dan kenyang, melainkan arena pertarungan antara niat diet dan godaan diskon minuman boba. Kita tahu makanan sehat itu penting, tetapi entah kenapa, sayuran selalu terasa seperti hukuman, sementara gorengan justru terasa seperti hadiah. Kita sadar berat badan naik, celana mulai sempit, napas tersengal saat naik tangga. Tapi semua itu terasa bisa ditunda, apalagi kalau di depan mata ada promo “gratis satu kalau beli dua”.

Kadang kita membayangkan betapa hebatnya nenek moyang kita yang berlari mengejar rusa di padang rumput. Sekarang, kita sendiri ngos-ngosan hanya karena remote TV jatuh dari sofa. Dulu manusia harus berkelahi dengan harimau demi makan malam; kini kita cukup klik aplikasi. Ironisnya, walau semakin mudah mendapatkan makanan, tubuh kita semakin lemah, pikiran semakin lamban, dan selera semakin dibentuk oleh algoritma. Kita bukan hanya makan, kita sedang dimakan oleh sistem yang tahu persis cara membuat kita lapar, bahkan ketika perut sudah kenyang.

Mungkin semua ini terdengar lucu—kalau tidak menyedihkan. Tapi begitulah kenyataannya. Makanan bukan lagi sekadar soal rasa, melainkan soal gaya hidup, status sosial, dan pelarian emosional. Kita tak lagi makan karena butuh, tetapi karena bosan, stres, kesepian, atau sekadar karena ada waktu luang. Dan di balik setiap gigitan, ada cerita panjang tentang bagaimana peradaban ini telah mengubah apa yang kita telan, dan bagaimana yang kita telan akhirnya membentuk peradaban.

Maka izinkan saya mengajak Anda berjalan sejenak mundur—menelusuri jejak makanan dari masa ke masa. Bukan untuk membuat Anda merasa bersalah karena tadi sarapan donat isi keju dan siang nanti pesan ayam geprek level 10. Tapi barangkali, setelah membaca ini, Anda akan mengunyah dengan lebih sadar. Atau minimal, Anda akan tertawa kecil dan mengusap mata.

Fase Nomaden: Makanan Alami Sesungguhnya

Subuh belum lagi sempurna ketika langkah kaki mulai merambat pelan. Embun menggigit kulit, tapi rasa lapar jauh lebih menggigit. Tak ada yang lebih penting dari jejak—jejak rusa, babi hutan, atau kadang hanya jejak burung yang belum tentu bisa ditangkap. Lelaki-lelaki dewasa mengendap, mata mereka menajam pada semak yang bergoyang. Satu gerakan tergesa bisa membuat perburuan hari ini berakhir sebelum dimulai.

Tak ada jaminan bahwa mereka yang berburu akan pulang membawa daging. Di semak lain, binatang buas juga lapar. Singa dan manusia bersaing dalam arena yang sama, tanpa juri, tanpa aturan. Alam liar adalah pasar bebas sejati: siapa cepat, siapa cerdik, siapa kuat, dia kenyang. Jika gagal, yang bisa dibawa pulang hanya cerita—dan perut kosong yang menanti akar mentah sebagai pelipur.

Perempuan, anak-anak, dan orang tua menyisir tanah—menggali umbi, memetik buah liar, meraba daun, mencium bau jamur. Tidak semua yang tumbuh bisa dimakan. Tidak semua yang berwarna cerah itu manis. Tapi dari kebiasaan dan kesalahan, manusia belajar. Mulut mereka adalah laboratorium, tubuh mereka adalah bukti coba-coba yang panjang, dan rasa adalah satu-satunya kompas dalam dunia tanpa label gizi.

Dan yang paling menakjubkan: makanan pada masa ini benar-benar alami. Ia tidak dipaksa tumbuh, tidak dikebiri, tidak disemai dalam pot plastik. Ia hidup di habitatnya sendiri, tumbuh dengan caranya sendiri, dan hanya datang pada musimnya. Tidak ada teknik rekayasa, tidak ada pestisida, tidak ada hormon penggemuk. Dalam artian paling jujur, inilah makanan yang sejati—murni dari alam, tanpa perantara tangan manusia.

Karena itu, kualitas makanan pada masa nomaden tidak hanya terletak pada kandungan gizinya, tapi pada keseimbangan yang dikandungnya. Tubuh manusia mendapatkan semua yang dibutuhkan—karbohidrat, protein, lemak, vitamin—dari keberagaman yang ditawarkan langsung oleh bumi. Tidak ada yang dominan, tidak ada yang diulang secara berlebihan. Setiap musim memberi kejutan, setiap perjalanan membawa menu baru.

Michael Pollan dalam The Omnivore’s Dilemma mencatat bahwa keanekaragaman inilah yang justru menjadi fondasi kesehatan manusia. Manusia nomaden tidak hidup dari satu jenis makanan pokok, tetapi dari seribu kemungkinan yang diberikan hutan dan padang. Mereka tak perlu belajar tentang diet seimbang—karena keseimbangan itu telah menjadi keniscayaan dalam cara mereka hidup.

Yuval Noah Harari pun dalam Sapiens menekankan bahwa manusia pemburu-peramu hidup dengan tubuh yang lebih kuat, lebih lentur, dan lebih tahan penyakit dibanding manusia setelah era pertanian. Tulang mereka lebih padat, otot mereka lebih aktif, dan tubuh mereka beradaptasi dengan kerja keras, bukan kenyamanan. Mereka tidak duduk terlalu lama. Mereka tidak punya waktu untuk malas gerak. Untuk makan, mereka harus bergerak. Untuk hidup, mereka harus mencari.

Lebih dari itu, ada dimensi spiritual dalam cara mereka memaknai makanan. Mereka tidak memburu lebih dari yang dibutuhkan. Mereka tahu kapan harus berhenti, kapan harus memberi ruang pada alam untuk pulih. Setiap binatang yang dibunuh dianggap sebagai pemberian, bukan hak. Tidak ada pesta berlebih, tidak ada kerakusan. Yang ada hanya rasa cukup—dan rasa hormat.

Maka kita bisa berkata: manusia nomaden tidak hanya makan dengan sehat, mereka makan dengan sadar. Mereka menyadari dari mana makanan berasal, bagaimana ia hadir, dan mengapa ia penting. Dan karena makanan datang dari jerih payah dan kerja keras, tidak ada yang dianggap sepele. Bahkan selembar daun liar pun bisa jadi penyambung hidup.

Tentu kehidupan seperti ini tidak mudah. Tapi dari fase inilah kita belajar bahwa makanan sejatinya bukan hasil pabrik, bukan barang dagangan, bukan objek manipulasi. Ia adalah bagian dari alam, dan manusia hanyalah salah satu makhluk yang boleh mencicipinya. Tapi sejarah tidak berhenti di sini. Ketika manusia mulai menetap dan bertani, kisah makanan pun berubah arah—dari anugerah menjadi proyek.

Fase Agrikultur: Makanan sebagai Proyek Manusia

Manusia mulai menetap. Sebuah perubahan kecil dalam cara hidup, tapi berdampak besar dalam sejarah makanan. Era ini, makanan tidak lagi dicari, tapi ditanam. Tidak lagi ditemukan, tapi diproduksi. Dunia yang sebelumnya penuh kejutan menjadi ladang yang dipagari. Alam yang semula mendikte menu, kini mulai dipaksa ikut jadwal tanam.

Tidak ada lagi perburuan yang menegangkan atau akar liar yang harus digali dengan jari-jari kotor. Sebagai gantinya, ada lahan yang diolah, benih yang disemai, dan hewan liar yang dijinakkan. Manusia mulai menjadi arsitek makanan. Tapi seperti semua arsitek, mereka juga menjadi manipulator. Dari sinilah makanan mulai berubah—bukan hanya bentuknya, tapi juga maknanya.

Pertanian membawa makanan dalam jumlah besar, tapi bukan dalam jenis yang banyak. Dari beragam umbi dan buah liar, manusia beralih pada sebutir padi. Dari ratusan jenis dedaunan liar, mereka memilih satu sayuran unggulan. Revolusi agrikultur bukan revolusi keragaman, melainkan revolusi keseragaman. Ketika satu jenis makanan dipilih sebagai “pokok”, maka yang lain otomatis dianggap “sampingan”—atau bahkan tak penting.

Inilah titik ketika makanan mulai menjadi proyek rasional manusia: disusun, diatur, dirancang. Makanan bukan lagi sekadar pemberian alam, tapi bagian dari sistem produksi. Dan sistem selalu punya tujuan: efisiensi, bukan kenikmatan; produktivitas, bukan keberagaman; hasil besar, bukan rasa seimbang. Dari ladang hingga lumbung, makanan disusun seperti barisan tentara: seragam dan teratur, tapi kehilangan karakter.

Dalam Sapiens, Yuval Noah Harari menyinggung ironi terbesar revolusi agrikultur: manusia mengira mereka menaklukkan alam, padahal justru ditaklukkan oleh tanaman. Manusia membudidayakan padi, tapi pada akhirnya manusialah yang bekerja siang malam demi padi. Tubuh yang dulunya lincah kini membungkuk di ladang, kaki yang dulu melompat kini terbenam lumpur sawah. Pekerjaan menjadi monoton, gerak menjadi terbatas, dan tubuh mulai kehilangan kelincahannya.

Lebih buruk lagi, rumah dan ladang yang berdekatan membawa tetangga baru: penyakit. Hewan ternak yang dulunya berkeliaran di hutan kini tinggal di kendang, berdempetan dengan manusia. Virus dan bakteri menemukan rumah baru di dekat tubuh manusia. Dalam proses menjinakkan alam, manusia tanpa sadar justru mengundang wabah lebih dekat.

Dan karena makanan bisa ditimbun, maka ia juga bisa diperebutkan. Timbunan beras bukan hanya soal pangan, tapi juga soal kekuasaan. Makanan menjadi komoditas, disimpan, dijual, dibarter, bahkan dipolitisasi. Dalam sistem agrikultur, makanan tak lagi bersifat egaliter. Kini, ada bibit unggul, ada bibit yang tidak unggul. Pemakannya ada yang kenyang lebih dulu, ada yang lapar lebih lama. Selain itu, ada pula yang menimbun dan ada yang mencuri. Inilah awal dari struktur sosial yang berpijak pada perut.

Namun, yang paling menyedihkan mungkin bukan soal politik pangan, tapi soal rasanya. Ketika makanan menjadi proyek manusia, ia perlahan kehilangan kejutan dan misterinya. Tidak ada lagi rasa penasaran pada buah yang belum dikenal. Tidak ada lagi percakapan antara rasa dan tekstur yang belum pernah dirasakan. Yang tersisa hanyalah makanan yang sudah ditebak rasanya sejak ditanam.

Dan dalam semua keteraturan itu, manusia mulai melupakan bahwa dulu makanan datang sebagai anugerah, bukan hasil kalkulasi. Dalam ladang yang tertata rapi, manusia merasa aman, tapi kehilangan petualangan rasa. Mereka kenyang, tapi hampa. Mereka kenyang, tapi kaku. Dalam simfoni agrikultur, makanan menjadi lagu yang diulang-ulang, kehilangan improvisasi.

Seperti ditulis Michael Pollan dalam The Omnivore’s Dilemma, kita adalah makhluk yang rindu keragaman rasa, tetapi terjebak dalam sistem yang menuntut efisiensi pangan. Ketika manusia mengabaikan kompleksitas ekologi dan memilih sistem monokultur, maka yang hilang bukan hanya rasa, tetapi juga relasi antara manusia dan tanah. Sistem pertanian modern—yang akarnya sudah tampak sejak revolusi agrikultur ribuat tahun yang lalu—membentuk manusia bukan sebagai penjelajah rasa, tetapi sebagai pengendali ladang.

Namun kita tidak bisa menyalahkan seluruhnya. Tanpa pertanian, tidak ada peradaban. Tanpa lumbung, tak akan ada puisi, kitab suci dan agama-agama, atau kota. Tapi sejak titik ini pula, jalan menuju rekayasa makanan terbuka lebar. Dan kelak, ketika manusia menemukan mesin dan pasar, makanan akan berubah lagi—bukan hanya sebagai proyek, tapi sebagai produk ekonomi.

Fase Industri Modern: Makanan sebagai Produk Ekonomi

Ketika mesin mulai menggantikan cangkul, makanan pun ikut berubah wujud. Tidak lagi dipanen dengan peluh, tapi diproduksi dalam jumlah ton dengan tekanan tombol. Lahan-lahan tidak lagi ditanami untuk menyambung hidup, melainkan untuk menguntungkan perusahaan. Makanan tidak lagi dibicarakan dalam bahasa rasa dan gizi, tapi dalam grafik, laba, dan skema distribusi. Kita hidup di zaman ketika kentang lebih sering lahir dari pabrik keripik dibanding dari tanah.

Makanan kini adalah barang dagangan. Ia dikemas, diberi label warna-warni, dimodifikasi agar tahan lebih lama, dan dijajakan bukan berdasarkan kebutuhan tubuh, tapi berdasarkan algoritma pasar. Kita tidak lagi makan karena lapar, tapi karena iklan membuat kita merasa lapar. Lidah dikondisikan, bukan diajak berdialog. Dan perut? Ia hanya jadi tempat transit antara promo bundling dan program diskon “beli dua gratis satu.”

Industri makanan telah menemukan cara cerdik membuat makanan kehilangan fungsi utamanya: memberi nutrisi. Kini makanan dibuat agar renyah, gurih, manis, menggoda, memikat, membuat kecanduan, dan yang paling penting: murah. Tapi murahnya dibayar mahal oleh tubuh. Lemak trans, gula tambahan, garam berlebihan, pewarna, pengawet, dan penyedap rasa menjadi bahan pokok baru peradaban. Kita tidak sedang makan, kita sedang dicekoki. Junk food. Sampah!

Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation, pernah mengingatkan bahwa kita hidup dalam dunia di mana simbol lebih penting dari kenyataan. Hal ini sangat terasa dalam industri makanan: kita tidak makan ayam, kita mengkonsumsi simbol ayam—nugget berbentuk imut. Kita tidak makan sapi, kita mengkonsumsi logo sapi tersenyum di kemasan daging olahan. Makanan telah disulap menjadi simulasi rasa, sementara tubuh kita harus memproses kenyataan yang sama sekali berbeda.

Lebih parahnya lagi, makanan sehat pun ikut dijual dengan prinsip industri. Supermarket dipenuhi “makanan sehat” versi pasar: granola ultra-proses, yogurt bergula, dan minuman hijau yang lebih banyak label nutrisinya daripada nutrisinya sendiri. Makanan alami dikomodifikasi menjadi gaya hidup. Harganya melambung, rasanya absurd, dan manfaatnya seringkali tak sebanding dengan narasi kemasannya. Sayur segar dikalahkan oleh vitamin dalam kapsul beraroma buah tropis.

Kaum muda kelas menengah menjadi target utama industri makanan. Mereka cantik, tampan, wangi, punya relasi sosial yang luas, tapi labil. Mereka adalah korban sekaligus agen. Mereka memotret makanan sebelum menyuapnya, memamerkan salad yang hanya disentuh kamera, dan menggaungkan gaya hidup sehat yang diam-diam disponsori sirup jagung berkedok granola. Merekalah poster boy dan poster girl dari pemasaran pangan modern. Tubuh mereka menjadi papan iklan, dan dompet mereka menjadi mesin pendanaan untuk industri yang menjual kecantikan sekaligus menggerogoti kesehatan.

Di era ini, bahkan waktu makan pun telah direduksi menjadi jeda antar meeting atau teman nonton serial streaming. Kita makan sambil menge-scroll. Makanan berubah dari aktivitas ritual menjadi rutinitas pasif. Kita tidak lagi mengunyah rasa, kita menelan gangguan. Gaya hidup modern melahirkan generasi yang mengisi perut dengan tangan kiri, sambil tangan kanan sibuk menyentuh layar.

Industri makanan bukan hanya menjual produk, tapi menciptakan kebiasaan. Makanan cepat saji hadir bukan sekadar karena manusia sibuk, tapi karena industri membuat kita merasa harus selalu sibuk. Semakin sedikit waktu yang kita punya untuk memasak, semakin laris produk instan mereka. Dan karena semua serba instan, tubuh pun merespons dengan cara yang sama: cepat kenyang, cepat sakit, cepat lelah.

Obesitas, diabetes, hipertensi, gangguan metabolik, dan bahkan gangguan suasana hati kini bukan hanya masalah medis, tapi hasil logis dari sistem pangan modern. Seperti ditulis Raj Patel dalam Stuffed and Starved, dunia modern telah menciptakan paradoks mengerikan: yang lapar tetap lapar, yang kenyang justru sakit. Kapitalisme pangan tidak peduli pada keseimbangan gizi, yang penting adalah keseimbangan neraca keuangan.

Kita harus akui: makanan modern telah kehilangan esensinya. Ia tidak lagi tumbuh bersama alam, tidak lagi dikembangkan oleh komunitas, tapi diciptakan oleh mesin, dipoles oleh strategi pemasaran, dan diantar oleh kurir. Makanan menjadi barang yang bisa dibeli dengan satu klik—tapi harganya dibayar dengan kesehatan, lingkungan, dan relasi manusia dengan rasa.

Namun cerita belum berakhir. Setelah makanan menjadi proyek manusia dan produk pasar, kini kita mulai menyambut fase baru: makanan sebagai simulasi penuh, buatan kecerdasan artifisial. Jika makanan modern membuat kita bingung antara lapar dan tergoda, maka makanan masa depan bisa jadi membuat kita bingung: apa yang sesungguhnya kita makan?

Fase Post-Human: Makanan Buatan, Hasil Kecerdasan Buatan

Di masa depan, makanan tidak lagi dimasak—ia dicetak. Tidak lagi dipanen dari ladang, tapi diprogram dari laboratorium. Kita sedang bergerak menuju dunia di mana dapur bukan tempat mengolah bahan makanan, tapi pusat kendali printer pangan. Daging tak lagi berasal dari sapi, melainkan dari sel otot yang dikulturkan dalam cawan petri. Rasa ayam tidak lagi muncul dari unggas, tetapi dari senyawa sintetis yang dirancang oleh kecerdasan buatan.

Makanan tidak lagi berakar pada tanah, melainkan pada data. Ia tidak hidup dari musim dan tanah subur, tapi dari algoritma yang mengkalkulasi kandungan gizi, tekstur, dan kepuasan indera. Kita sedang menuju era di mana kebutuhan nutrisi diatur oleh dashboard digital, dan makanan dipesan berdasarkan hasil pemeriksaan biometrik harian. Tubuh kita bukan lagi makhluk biologis yang menyatu dengan alam, melainkan proyek eksperimental yang harus disuplai sesuai rekomendasi perangkat wearable.

Di sinilah makanan berhenti menjadi bagian dari kehidupan, dan berubah menjadi simulasi kehidupan itu sendiri. Bau, rasa, bahkan rasa kenyang—semuanya bisa dipalsukan. Dalam dunia post-human, lapar bisa ditipu oleh kapsul beraroma daging asap, dan sensasi makan bisa digantikan oleh rangsangan elektrik pada otak. Kita tidak lagi makan untuk hidup, tapi sekadar agar terasa seperti hidup.

Industri makanan modern yang dahulu memoles makanan dengan iklan, kini akan memolesnya dengan simulasi realitas. Kita bisa duduk di sofa, memakai helm VR, mencium aroma sate kambing, merasakan tekstur nasi hangat di lidah, padahal yang masuk ke lambung hanyalah campuran bubuk nabati dan gelatin sintetis. Seperti kata Jean Baudrillard: realitas sudah mati, yang tersisa hanyalah representasi dari realitas itu sendiri—dan kini, makanan pun ikut dikubur bersama realitas.

Makanan masa depan memang menjanjikan efisiensi. Ia bisa menyelamatkan bumi dari beban peternakan intensif, mengurangi emisi karbon, dan menyuplai nutrisi bagi populasi yang meledak. Tapi efisiensi bukan selalu kemanusiaan. Ketika makanan menjadi terlalu steril, terlalu presisi, terlalu teknologis—apakah ia masih bisa disebut makanan, atau hanya suplemen yang dibungkus nostalgia?

Kita juga belum bisa memastikan apakah makanan buatan ini akan tetap melayani tubuh manusia, atau malah tunduk pada logika industri seperti pendahulunya. Bukankah teknologi selalu menemukan cara untuk dikomersialkan lebih dulu daripada dimanusiakan? Jika dulu kita kecanduan gula, lemak, dan garam, kini kita bisa kecanduan “personalized nutrition” dan “molecular gastronomy” yang justru melanggengkan alienasi baru: antara tubuh, makanan, dan makna.

Michael Pollan pernah menyarankan: “Jangan makan makanan yang nenek moyangmu tidak kenali sebagai makanan.” Tapi bagaimana jika kelak tidak ada lagi makanan yang bisa dikenali? Jika seluruh dapur menjadi laboratorium, dan rasa dipatenkan oleh perusahaan rintisan teknologi pangan?

Lebih mengkhawatirkan lagi, makanan simulatif ini bisa memperkuat ketimpangan. Mereka yang mampu membeli “daging sintetis organik kelas premium” akan merasa unggul dari mereka yang hanya mampu menelan bubur cetak instan. Alih-alih memperbaiki ketimpangan pangan global, teknologi pangan malah bisa membuat kelas sosial baru yang ditentukan oleh apa yang Anda makan—atau simulasi dari apa yang Anda makan.

Pada titik ini, kita perlu bertanya: apakah kita masih manusia pemakan makanan, atau sekadar konsumen simulasi nutrisi? Apakah makanan masa depan akan memperkuat relasi kita dengan tubuh dan bumi, atau menjauhkan kita dari keduanya? Apakah makanan masih akan punya cerita, rasa, dan makna—atau hanya angka dan data?

Mungkin, justru nostalgia terhadap makanan sejati akan tumbuh subur di era ini. Mungkin kita akan merindukan bau bawang ditumis, kerisik sambal di wajan, renyah singkong goreng, atau kehangatan bubur kampung. Dan dari kerinduan itulah, mungkin akan muncul kesadaran baru: bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan biologis atau produk teknologi, tapi bagian dari jiwa manusia. Sebab tidak ada algoritma yang bisa meniru rasa rindu, bukan?

Perlawanan di Meja Makan

Di tengah arus zaman yang semakin deras dan meja makan yang semakin sunyi dari makna, kita perlu berhenti sejenak. Menatap kembali jejak panjang relasi kita dengan makanan—dari hutan belantara, sawah yang dibajak, hingga piring plastik di food court yang seragam rasanya. Kita telah melewati banyak fase: dari manusia yang berburu dengan naluri, menjadi petani yang menanam dengan strategi, berubah menjadi konsumen yang memilih dengan jari, dan mungkin sebentar lagi menjadi makhluk yang makan dengan chip dan kode QR.

Namun satu hal tetap abadi: tubuh manusia tidak berubah secepat teknologi makanan. Ginjal kita masih ginjal zaman batu, lambung kita masih lambung manusia nomaden. Ia mengenal rasa kenyang dari umbi, bukan dari rasa vanila artifisial. Ia memproses protein dari ikan segar, bukan dari bubuk nutrien yang diiklankan oleh influencer berotot. Tubuh kita tidak bisa dibohongi terus-menerus. Ia akan berbicara dengan caranya sendiri—lewat kelelahan, lewat penyakit, lewat kegemukan yang diam-diam menghimpit napas dan umur.

Dalam suasana Ramadan yang sunyi dan sakral, kita diberi jeda dari keserakahan. Diberi waktu untuk mendengarkan tubuh yang selama ini tertutup oleh suara snack. Puasa bukan sekadar ritual, tetapi latihan untuk mengembalikan hubungan kita dengan rasa lapar yang jujur. Bukan lapar palsu yang dimunculkan oleh iklan dan aroma buatan, tapi lapar yang mengantar kita kepada kesadaran bahwa makanan sejati adalah yang membuat kita cukup, bukan sekadar kenyang. Sepertinya Islam, melalui ritual puasa, menunjukkan dua jenis lapar: lapar yang memuliakan tubuh, dan lapar yang menyucikan jiwa. Yang pertama bisa dibeli, yang kedua hanya bisa dilatih.

Mungkin kita tidak bisa kembali sepenuhnya ke era nomaden. Kita tidak akan berburu rusa di pagi hari atau menggali umbi dengan tangan kosong. Tapi kita bisa kembali pada nilai-nilai itu: pada keberagaman makanan, pada kesegaran, pada kedekatan dengan asal-usul makanan. Dan cara paling nyata untuk itu adalah dengan memasak sendiri—mengolah bahan yang kita pilih sendiri, dari pasar lokal, dari pekarangan, dari tangan petani yang masih mengenal tanah. Dengan memasak sendiri, kita tidak hanya menghindari jebakan makanan pabrik, tetapi merebut kembali kendali atas tubuh kita sendiri, mengontrol apa yang masuk ke dalam tubuh. Kita menjadi subjek atas apa yang kita makan, bukan sekadar konsumen yang menerima saja dicekoki iklan.

Dan mungkin, Ramadan ini adalah waktu terbaik untuk melupakan festival junk food yang entah kenapa selalu dirayakan justru ketika kita diminta untuk menahan diri dari makanan. Saat badan kita sedang khusyuk berpuasa, dunia luar justru penuh godaan: diskon gorengan di mal, promo boba di depan masjid, pesta buka puasa dengan menu yang lebih banyak minyak daripada hikmah. Anehnya, semua ini didukung oleh spanduk pemerintah dan iklan korporat yang berselimut jargon spiritual dan bumbu-bumbu ayat.

Berhati-hatilah juga dengan godaan lain yang lebih halus dari buzzer magrib: wajah-wajah tampan dan cantik, muda dan terkenal, yang berseliweran menjelang azan magrib. Mereka tampil di layar ponsel dengan senyum manis, menggoda kita untuk ikut memesan makanan yang mengandung penderitaan. Mereka bukan setan, tapi setan bisa saja sedang menyamar lewat endorsement mereka. Dalam dunia yang semakin licin ini, setan tidak perlu membisik di telinga—cukup pasang ring light dan bikin konten TikTok.

Ramadan bukan tentang menunda lapar hanya untuk menggantinya dengan pesta makan kemudian. Ramadan adalah latihan kejujuran: terhadap tubuh, terhadap waktu, terhadap niat. Ramadan tidak perlu dirayakan dengan meja makan yang penuh bungkusan, selalu menambah daftar pesanan, tapi dengan menambah kesadaran. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Zad al-Ma’ad menyatakan: Puasa adalah perisai, dan makanan adalah ujian. Siapa yang menaklukkan perutnya, ia menaklukkan hidupnya.

Referensi

  • Harari, Yuval Noah. Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper, 2015.
  • Pollan, Michael. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. Penguin, 2006.
  • Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.
  • Patel, Raj. Stuffed and Starved: The Hidden Battle for the World Food System. Melville House, 2008.

Deri Hudaya. Baca juga tulisan-tulisannya di HumaNiniNora. Saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.

Post Comment