Api, Gawai, Puasa dan Revolusi

Ilustrasi: Leonardo

Api, Gawai, Puasa dan Revolusi

Seperti gawai, api adalah teknologi revolusioner yang mengubah cara hidup manusia.
Dan api adalah teknologi pertama.

Dulu, ketika manusia menemukan api, mereka tidak hanya menemukan panas, tapi juga masa depan. Api bukan cuma alat bertahan hidup, tapi alat berpikir. Ia memungkinkan daging dilunakkan, biji-bijian dimasak, dan racun diurai. Makanan yang tadinya keras, sukar dikunyah, dan memerlukan waktu berjam-jam untuk dicerna, tiba-tiba menjadi lembut dan hangat. Waktu makan menjadi lebih singkat, energi pencernaan pun berkurang.

Dengan waktu makan yang lebih cepat, tubuh manusia pun berubah. Usus menjadi lebih pendek—dari yang semula panjang seperti kerabat primata (antara 7 hingga 10 meter), kini menjadi jauh lebih pendek dan efisien. Richard Wrangham menyebutnya sebagai titik balik peradaban: memasak membuat usus kita lebih pendek dan otak kita membesar. Sementara itu, Yuval Noah Harari dalam Homo Sapiens melihatnya sebagai awal dari revolusi kognitif: tubuh tak lagi hanya sibuk mengunyah, tetapi mulai merenung, berpikir, mencipta. Semua berawal dari api—alat pertama yang membebaskan manusia dari sekadar menjadi pemakan menjadi pemikir.

Namun, seperti semua kisah besar, teknologi membawa ironi. Jika api mempercepat cara manusia makan dan membuka jalan bagi pikirannya tumbuh, gawai hari ini justru melakukan hal sebaliknya. Ia memperlambat pikiran dengan membuat manusia kembali mengunyah lebih sering, lebih lama, dan lebih tidak sadar. Dari api ke gawai, dari revolusi ke regresi—manusia modern kembali tergoda menjadi pemakan alih-alih pemikir.

Dalam beberapa kasus, gawai memang justru melakukan hal sebaliknya: ia memperlambat pikiran dengan membuat manusia kembali terus-menerus mengunyah. Di zaman digital, aktivitas makan bukan lagi soal nutrisi, tetapi soal distraksi. Kita makan bukan karena lapar, tetapi karena layar menyuruh kita merasa lapar. Sebungkus keripik di tangan bukan lagi tanda kekurangan makanan, melainkan tanda kelebihan sinyal. Gawai tidak memasak makanan, tetapi mengemas nafsu dalam bentuk visual: iklan makanan, mukbang, food porn, hingga notifikasi diskon ongkir yang memanipulasi selera.

Kita tidak sadar bahwa proses berpikir manusia hari ini makin sering dipatahkan oleh jeda-jeda mengunyah. Dulu, manusia makan agar bisa berpikir. Sekarang, manusia makan untuk menunda berpikir. Pikiran yang nyaris muncul segera digantikan oleh suara plastik dibuka, denting microwave, atau tombol checkout. Dalam satu hari, lebih banyak keputusan dibuat untuk memilih rasa boba dibanding memilih bacaan yang bergizi. Pikiran kalah cepat dari dorongan untuk ngemil.

Regresi seperti itu berlangsung demikian halus, seperti penyakit yang tidak menimbulkan demam, tapi melemahkan daya hidup. Manusia modern tetap bekerja, tetap berinteraksi, tetap membaca, tapi semakin jarang merenung dalam-dalam. Konsentrasi jadi barang langka. Daya ingat menipis. Ide-ide besar susah tumbuh digeser camilan-camilan kecil. Bahkan menurut studi dari Frontiers in Psychology (2020), konsumsi makanan ultra-proses berkorelasi dengan penurunan fungsi eksekutif—kemampuan otak untuk mengatur prioritas, mengendalikan impuls, dan mengambil keputusan jangka panjang.

Ada ironi yang menyedihkan di sini. Ketika manusia prasejarah berevolusi lewat makanan, manusia modern justru menurun karena makanan. Kemajuan yang dulu lahir dari efisiensi kini berubah menjadi kelebihan. Kelebihan waktu makan, kelebihan kalori, kelebihan informasi, dan kelebihan distraksi. Di dunia yang serba instan, kita kehilangan jeda untuk berpikir lambat—padahal justru di situlah lahir kemampuan kritis.

Media sosial dan algoritma memperparah kondisi ini. Gawai tidak hanya menyodorkan makanan, tapi juga mengatur ritme nafsu. Kita digiring untuk makan sesuai alur notifikasi, bukan sesuai irama tubuh. Sebelum lapar datang, makanan sudah tersedia. Sebelum kita sadar sedang tidak butuh, lidah sudah tergoda. Dan karena semuanya terasa mudah—dengan satu klik, makanan datang—manusia pun kehilangan rasa bersusah payah yang dulu menjadi bagian dari proses makan yang penuh makna.

Lebih dari itu, makanan hari ini adalah produk industri persepsi. Rasanya diatur, bentuknya didesain, warnanya dimanipulasi. Bahkan rasa lapar pun tidak lagi berasal dari perut, tapi dari layar. Inilah yang disebut Michael Pollan sebagai food-like substance—benda yang tampak seperti makanan, tetapi tak lagi membawa nilai gizi atau kedekatan emosional seperti makanan rumah. Kita makan bukan untuk terhubung, tetapi untuk melarikan diri. Kita tidak lagi menikmati makanan, kita hanya menghindari kekosongan–karena bosan.

Dan karena tidak ada jeda, tidak ada pula ruang kontemplasi. Aktivitas mengunyah konstan membuat otak kehilangan ruang sunyi. Padahal dalam sejarah peradaban, ide besar lahir dari keheningan: Socrates merenung, Buddha bermeditasi, para nabi puasa dan menyepi. Hari ini, semua bentuk keheningan dikacaukan oleh rasa manis, asin, dan renyah yang terus menginterupsi. Makanan tak lagi menjadi medium penyadaran, tapi alat pelupa.

Mungkin inilah mengapa puasa menjadi salah satu bentuk perlawanan paling purba terhadap perbudakan impuls. Ketika manusia berpuasa, ia menanggalkan semua kemudahan instan—makanan, rasa, dan distraksi. Ia memberi tubuhnya waktu untuk tidak sekadar mencerna, tetapi juga mendengar. Dalam jeda lapar itu, muncul kembali suara yang selama ini tenggelam oleh derai keripik dan gemerincing notifikasi: suara kesadaran. Puasa bukan semata praktik keagamaan, tetapi tindakan sadar untuk menghentikan dominasi rasa atas pikiran.

Di zaman ketika gawai menciptakan lapar palsu setiap lima menit, puasa adalah bentuk detoksifikasi pikiran. Tidak mengunyah adalah bentuk kesadaran sekaligus perlawanan. Ia bukan hanya menahan makan, tetapi juga menahan diri dari menjadi budak impuls. Ia mengembalikan manusia pada keadaan hening yang pernah melahirkan peradaban—ketika manusia tidak langsung bereaksi, tapi merenung terlebih dahulu. Dalam tubuh yang hening, pikiran bisa kembali jernih. Dalam lapar yang ditahan, otak kembali menjadi ruang untuk ide, bukan tempat transit bagi dorongan mendadak. Barangkali, untuk menjadi manusia berpikir sekali lagi, kita hanya perlu satu hal sederhana: berani tidak mengunyah.

Tapi tentu saja, tidak semua manusia modern sempat belajar dari sejarah. Hari ini di kalangan muslim sendiri, ada ritual puasa gaya baru: puasa sambil menonton makanan, menahan lapar sambil scrolling video mukbang, menahan haus sambil menyimpan keranjang belanjaan berisi es boba untuk dibuka saat azan magrib. Sebagian kalangan menyebutnya spiritualitas digital—fasting while feasting visually. Sebuah parodi dari revolusi kognitif: otak kita lapar akan ide, tapi mata kita kenyang oleh gambar sambal terasi. Kita tidak lagi memasak untuk hidup, kita hanya menonton orang lain makan untuk merasa hidup.

وَالْعَصْرِ ۝ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

Wa al-‘aṣri. Inna al-insāna lafī khusrin.

Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.

Referensi

Frontiers in Psychology (2020). “Ultra-Processed Food Consumption and Cognitive Decline.”

Harari, Y. N. (2011). Sapiens: A Brief History of Humankind.

Pollan, M. (2006). The Omnivore’s Dilemma. Taubes, G. (2016). The Case Against Sugar.

Wrangham, R. (2009). Catching Fire: How Cooking Made Us Human. Basic Books.

Deri Hudaya. Baca juga tulisan-tulisannya di HumaNiniNora. Saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.

1 comment

comments user
Husvalana

Selalu senang membaca tulisan yang menambah wawasan. Yang tadinya, otaknya terhalang oleh makanan.

Post Comment