Resep Kekuasaan dalam Mengolah Ketakutan

Resep Kekuasaan dalam Mengolah Ketakutan

Ada yang istimewa dari respons kekuasaan terhadap kritik. Ketika negara semakin berani mengintimidasi warganya, mereka juga semakin lihai mengubah teror menjadi lelucon. Begitulah yang terjadi ketika Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Hasan Nasbi, merespons teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo dengan santai: “Masak saja.” Sebuah saran yang mungkin terasa ringan, bahkan humoris, jika saja ia bukan representasi dari banalitas represi.

Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem (1963) membahas konsep banalitas kejahatan, yakni bagaimana tindakan represif dapat dianggap biasa dan tanpa refleksi moral. Dalam kasus ini, negara tidak lagi menganggap teror terhadap pers sebagai sesuatu yang mengancam demokrasi, melainkan sebagai hal yang bisa dinormalisasi atau bahkan dijadikan bahan humor. Dengan menganggap kepala babi hanya sebagai objek yang bisa dimasak, respons ini menunjukkan bagaimana kekerasan politik bisa direduksi menjadi sesuatu yang remeh, seolah-olah tanpa konsekuensi serius.

Slavoj Žižek, dalam analisisnya mengenai ideologi dan kekerasan simbolik, menunjukkan bahwa represi tidak hanya bekerja dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam cara makna dikendalikan. Pernyataan Hasan Nasbi bukan hanya sebuah candaan, tetapi sebuah cara untuk mengontrol bagaimana publik memahami teror itu sendiri. Dengan menjadikannya sesuatu yang ringan dan tidak berbahaya, negara mengaburkan makna kekerasan yang sesungguhnya dan mencegah respons kritis dari masyarakat. Ini adalah cara kekuasaan bekerja: bukan hanya membungkam suara kritis, tetapi juga membuat publik tidak lagi mampu membedakan antara ancaman nyata dan permainan retorika.

Namun, di balik absurditas ini, ada ironi yang lebih dalam. Jika kepala babi hanya dianggap sebagai sesuatu yang bisa dimasak, maka bagaimana dengan kepala-kepala yang lain—kepala jurnalis yang berpikir kritis, kepala mahasiswa yang berteriak di jalanan, kepala rakyat yang masih berani bertanya? Apakah mereka juga akan dianggap sebagai sesuatu yang bisa diolah, dikendalikan, atau bahkan disingkirkan? Inilah logika kekuasaan yang bermain: memulai dari humor, lalu beralih ke normalisasi, hingga akhirnya mencapai titik di mana represi bisa diterima tanpa perlawanan.

Teror terhadap Tempo bukanlah insiden yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari pola yang lebih luas. Ia adalah cerminan dari bagaimana negara mengelola kritik—bukan dengan menjawabnya secara substantif, tetapi dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang bisa ditertawakan, lalu diabaikan. Ketika lelucon sudah tidak lagi cukup, maka mekanisme represi yang lebih keras akan mengambil alih. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap rezim yang menyepelekan teror pada akhirnya akan terjebak dalam logikanya sendiri. Dan ketika itu terjadi, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang memasak, tetapi siapa yang akhirnya akan disantap oleh sistem yang ia ciptakan sendiri.

Lalu, bagaimana dengan teror kedua? Beberapa ekor tikus yang terpenggal dikirim ke kantor yang sama. Apakah mereka juga harus masuk ke dalam kuali? Ataukah kali ini, kita akan mendapat resep baru dari kekuasaan tentang bagaimana mengolah ketakutan? Jika kepala babi dianggap biasa, mungkin tikus pun hanya akan dianggap lauk tambahan dalam menu represi yang semakin kaya rasa. Atau, jangan-jangan, tikus ini adalah metafora yang lebih jujur—simbol bagi mereka yang bersembunyi dalam sistem, bekerja dalam gelap, menggigiti demokrasi sedikit demi sedikit? Pada titik ini, absurditas telah menjelma menjadi keseharian, dan kita hanya tinggal menunggu hidangan berikutnya dari dapur kekuasaan yang terus mengejutkan. Akan ada kejutan apa lagi di meja makan otoritarianisme? Kita tunggu saja menu spesial berikutnya.

Post Comment