Penjajahan Lidah

Leonardo

Penjajahan Lidah

Ada banyak makanan pokok di Indonesia: padi, gandum, sorgum, sagu, singkong, talas, sukun, dan entah apa lagi yang pernah dimakan nenek moyang kita sebelum birokrasi pangan datang dengan standarisasi: padi. Hanya padi dan yang lain tersingkir. Bahkan, dalam berbagai kebijakan, beras dijadikan tolok ukur kesejahteraan. Jika konsumsi beras rendah di suatu daerah, itu dianggap sebagai indikator kemiskinan, bukan tanda keberagaman pangan.

Proyek penyeragaman ini dimulai pada masa kolonial, Belanda sudah mengarahkan banyak tenaga kerja ke sawah-sawah padi demi kepentingan ekspor. Jepang, dalam periode singkatnya, memperkenalkan kebijakan tanam paksa untuk meningkatkan produksi beras. Dari situ, lahirlah doktrin: “Belum makan kalau belum makan nasi.”

Ketika hanya padi yang dianggap makanan pokok, krisis pangan menjadi lebih mudah terjadi. Impor beras jadi keniscayaan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah tak terhindarkan. Ketergantungan ini membuat kedaulatan pangan Indonesia ringkih: jika padi kurang, kita panik, harga melambung, dan kebijakan darurat pun dikeluarkan secepat kilat. Padahal, solusi sederhana ada di depan mata—atau lebih tepatnya, di ladang-ladang yang selama ini kita abaikan.

Soekarno, ketika menyusun buku “Mustikarasa”, tampaknya telah menyadari hal ini. Bagi Bung Karno, kedaulatan bangsa bukan hanya soal tentara dan politik, tetapi juga soal lidah. Jika lidah saja bisa dikondisikan dan diseragamkan, apalagi hal-hal lain? Namun, di bawah Orde Baru, keberagaman pangan justru semakin dipersempit. Soeharto membangun lumbung pangan yang, ironisnya, hanya berisi satu jenis hasil panen: padi. Program transmigrasi tidak hanya menyebar orang Jawa ke luar pulau, tapi juga berupaya memperbanyak sawah di luar Jawa. Revolusi hijau pun bersingungan dengan ideologi tanam padi.

Selain melenyapkan keberagaman pangan, dominasi padi juga menimbulkan masalah lain. Alih fungsi lahan untuk sawah terus menerus terjadi. Hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga ekosistem ditebang demi membuka lahan pertanian padi. Papua, misalnya, yang memiliki tradisi makan sagu selama ribuan tahun, mulai mengalami perubahan lanskap akibat proyek sawah. Pemerintah berdalih ini untuk ketahanan pangan, padahal apa yang lebih tahan daripada makanan yang sudah terbukti bertahan sejak zaman nenek moyang mereka?

Tak hanya itu, monokultur padi juga membutuhkan air dalam jumlah besar, merusak keseimbangan ekosistem, dan membuat lahan semakin rentan terhadap perubahan iklim. Dibandingkan dengan tanaman seperti singkong atau sorgum yang lebih adaptif terhadap kekeringan, padi justru menjadi beban dalam kondisi cuaca ekstrem. Artinya, semakin kita bergantung pada beras, semakin rapuh sistem pangan kita.

Kembali pada keberagaman makanan pokok bukan sekadar nostalgia kuliner atau eksperimen dapur dan pertanian, melainkan solusi konkret terhadap ketergantungan pangan. Negara dengan tanah subur seperti Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir kehabisan pangan jika memiliki pilihan lain. Sagu di Papua, jagung di Nusa Tenggara, singkong di Jawa, dan talas di Sulawesi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai “makanan darurat”, melainkan bagian sah dari kedaulatan pangan dan perayaan dari keberagaman budaya.

Sejarawan pangan Hari Subagyo dalam bukunya “Jejak Pangan Nusantara” (2015) mencatat bahwa kebijakan pangan di Indonesia telah menyebabkan degradasi pengetahuan lokal tentang keberagaman pangan. Dulu, masyarakat bisa mengolah berbagai sumber karbohidrat tanpa merasa aneh. Orang Bugis mengenal kapurung dari sagu, orang Jawa akrab dengan tiwul dari singkong, sementara masyarakat Madura mengandalkan jagung. Sekarang? Makan ubi rebus dianggap “menu diet”, bukan makanan utama. Sebuah ironi yang lahir dari indoktrinasi panjang.

F. H. van Linschoten, dalam catatan perjalanannya pada abad ke-16, menyebut bahwa masyarakat Nusantara kala itu memiliki pola makan yang sangat beragam, tidak terpaku pada satu jenis karbohidrat saja. William G. Clarence-Smith dalam bukunya “Coconut: Ethnohistory of a Tropical Crop” (2004) juga menyoroti bahwa diversifikasi pangan adalah kekuatan utama masyarakat maritim di Nusantara. Fakta ini semakin membuktikan bahwa pola makan kita yang kini monoton adalah hasil dari rekayasa sosial.

Namun, mengubah kebiasaan makan bukanlah perkara sepele. Orang-orang yang telah terprogram untuk percaya bahwa “nasi adalah segalanya” tentu tidak akan tiba-tiba bisa beralih ke sagu hanya karena pemerintah mengampanyekan diversifikasi pangan. Ini bukan sekadar soal kebijakan, tetapi juga soal psikologi dan budaya. Memulainya dari pendidikan dan dialog tentang diversivikasi pangan perlu dilakukan secara wajar.  

Merdeka dari ketergantungan pada satu jenis pangan bukan sekadar soal diversifikasi, tetapi juga soal bertahan hidup, tetapi juga soal pengakuan terhadap keberagaman cara hidup. Jika suatu hari kita kehabisan beras, apakah kita harus menunggu beras impor datang? Padahal utang impor telah menumpuk. Padahal utang dan impor adalah sarana untuk merapuhkan kedaulatan yang imbasnya bukan hanya pada soal pangan.

Banyak negara berhasil menjalankan diversifikasi pangan tanpa kehilangan identitas. Jepang, misalnya, memang terkenal dengan nasi, tapi mereka juga mengkonsumsi banyak kentang, soba, dan roti. India, meskipun terkenal dengan beras basmati, tetap mempertahankan konsumsi gandum dan millet. Bagaimana dengan Indonesia? Wallohualam.

Post Comment