Gaya Makan Rastafarian

Leonardo

Gaya Makan Rastafarian

Di sudut dunia yang lain, orang-orang mencelupkan kentang goreng mereka ke dalam lautan saus berwarna oranye menyala, mengunyah burger yang lebih banyak mengandung nostalgia ketimbang daging, lalu meneguk soda yang dijual dalam ukuran ember. Mereka kenyang, tetapi lapar. Mereka hidup, tetapi lemas. Babilon telah menang.

Tapi tidak di sini. Tidak di bawah pohon mangga yang rindang Jamaika, di mana seorang Rastafarian duduk tenang, menggenggam sepiring Ital dengan tangan penuh rasa hormat. Ia tidak memakan sesuatu yang telah dicemari pabrik. Tidak ada bahan pengawet yang namanya terdengar seperti mantra kutukan. Tidak ada garam yang berasal dari kantong konglomerat.

“Makananmu haruslah obatmu, dan obatmu haruslah makananmu,” kata Hippocrates, jauh sebelum Rastafari ada. Tetapi di dunia modern, makanan lebih sering menjadi racun yang dikemas dalam plastik berwarna cerah dan ditawarkan dengan harga diskon.

Ital bukan sekadar diet. Ital adalah cara hidup. Sebuah penolakan. Sebuah pengingat bahwa tubuh adalah kuil, bukan tong sampah tempat Babilon membuang eksperimen gastronominya. Daging merah? Tidak. Bagi mereka, itu adalah beban di perut dan di jiwa. Makanan kaleng? Jangan harap. Bagi mereka, itu hanyalah kalimat terakhir dalam wasiat kapitalisme.

Leonard Barrett (1997) mencatat bahwa filosofi Ital lahir dari keyakinan bahwa makanan yang tidak alami mencemari tubuh dan menjauhkan manusia dari hubungan spiritual. Ini bukan hanya soal pola makan sehat; ini adalah penegasan identitas, sebuah perlawanan terhadap sistem yang telah meracuni manusia dengan makanan instan dan zat aditif.

Orang-orang yang makan Ital tidak terburu-buru. Mereka tidak berdiri di antrean drive-thru sambil melirik jam tangan. Mereka tidak mencampur makanan mereka dengan angka kalori atau angka kartu kredit. Mereka tahu makanan haruslah bersih, hidup, dan selaras dengan alam. “Jah telah memberikan segala yang kita butuhkan di bumi ini, tetapi Babilon mencoba menggantinya dengan kebohongan,” kata seorang Rastafarian di Kingston.

Babilon, sebagaimana disebut dalam ajaran Rastafari, bukan sekadar dunia luar yang korup, tetapi sistem yang menciptakan ketergantungan pada produk-produk olahan dan menjauhkan manusia dari sumber makanan aslinya. Chevannes (1994) menunjukkan bagaimana diet Ital juga menjadi simbol kemandirian bagi Rastafarian, cara untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada industri pangan modern.

Di luar sana, manusia terhuyung-huyung dalam gula, garam, dan lemak trans, seperti kapal karam yang kelebihan muatan. Mereka menganggap kenyang sebagai tanda kemenangan, padahal itu hanya ilusi Babilon yang berhasil menanam bendera di perut mereka. Rastafarian tahu. Mereka makan dengan kesadaran, bukan sekadar dengan mulut.

Dan lihatlah mereka yang tetap berpegang pada Ital. Kulit mereka bercahaya, mata mereka jernih, langkah mereka ringan. Mereka tidak menari di atas panggung Babilon. Mereka berjalan di tanah yang sesungguhnya, dengan tubuh yang tidak dibangun dari zat-zat buatan.

“Ketika makanan itu murni, pikiran pun murni,” ujar seorang Rastafarian tua di tengah kebunnya. “Dan ketika pikiran murni, manusia menjadi kuat.”

Michael Pollan (2008) menulis bahwa salah satu cara terbaik untuk makan adalah dengan mengikuti prinsip sederhana: “Makanlah makanan, jangan terlalu banyak, dan prioritaskanlah tumbuhan.” Sungguh ironis bahwa dunia modern baru menyadari ini sekarang, sementara Rastafarian telah mempraktikkannya sejak lama.

Mungkin, suatu hari nanti, ketika kita lelah menjadi budak pabrik makanan, kita akan ingat bahwa makan seharusnya tidak membuat kita mati perlahan. Bahwa makanan seharusnya memberi kita kehidupan, bukan tagihan rumah sakit.

Mungkin saat itu kita akan duduk di bawah pohon, dengan sepotong Ital di tangan, dan merasakan apa yang benar-benar berarti: kebebasan.

Referensi:

  • Barrett, Leonard E. (1997). The Rastafarians: Twentieth Anniversary Edition. Beacon Press.
  • Chevannes, Barry. (1994). Rastafari: Roots and Ideology. Syracuse University Press.
  • Pollan, Michael. (2008). In Defense of Food: An Eater’s Manifesto. Penguin Books.

Post Comment