Ridwan Malik: Penulis Muda Asal Garut yang Lolos ke Ubud Writers & Readers Festival 2025
Seorang penulis muda di Garut menjalani hari-harinya dengan menulis, mengelola penerbit kecil-kecilan, dan melamun di kebun. Nama lengkapnya Ahmad Ridwan Malik, tapi dalam dunia sastra, ia lebih dikenal sebagai Ridwan Malik. Usianya baru menginjak 30, tapi caranya memaknai menulis dan kehidupan terasa seperti milik seseorang yang telah lama berdialog dengan kesunyian dan kata-kata.
Bagi Ridwan, menulis bukan tentang kecepatan mengejar audiens, apalagi soal viralitas. “Sastra adalah seni melambat,” katanya. Di tengah gempuran konten instan dan budaya hustle yang memeras nilai manusia ke dalam angka-angka, ia memilih jalan sepi yang jarang dipijak: merenung, mencatat hari-hari yang ia alami, dan menyusuri rimbaraya mitos di tanah kelahirannya.
Garut bukan sekadar latar baginya—ia adalah sumber. Dari gunung, laut, hingga cerita-cerita rakyat yang masih hidup dalam bisik-bisik pesantren dan kampung adat, semua itu membentuk tulang punggung karyanya. Ajengan Anjing adalah novel pertamanya dan baru terbit akhir tahun 2024 silam. Karyanya memang belum banyak. Ketika Ridwan akhirnya lolos ke Ubud Writers & Readers Festival—salah satu ajang sastra yang bergengsi di Indonesia—kabar itu tak hanya menjadi pencapaian pribadi, tapi juga pantulan dari perjalanan panjang yang tak tergesa-gesa.
Dalam wawancara ini, Ridwan berbagi cerita tentang proses kreatifnya yang organik, pengaruh kuat tanah kelahiran, serta keyakinannya bahwa sastra masih sangat relevan—bahkan esensial—di zaman yang melaju terlalu cepat. Ia juga bicara tentang tantangan penulis muda hari ini, godaan media sosial, dan kenapa keraguan itu harus tetap ditulis, bukan dihindari.
Mari menyelami isi kepala seorang penulis yang percaya bahwa kadang, jalan menuju makna hanya bisa ditemukan dengan berjalan pelan.

Pembuka / Latar Belakang Personal
Bisa diceritakan sedikit tentang latar belakang Anda?
Sebenarnya nama lengkap Ahmad Ridwan Malik. Nama dalam karya ya Ridwan Malik. Bulan Juli tahun ini masuk 30 tahun. Dari Selatan, Cikelet. Dulu sempat kuliah di Sastra Inggris UIN Sunan Kalijaga dari 2014-2019. Sekarang kerja sehari-hari menulis sambil mengurus penerbit kecil-kecilan.
Sejak kapan Anda tertarik pada dunia tulis-menulis?
Kalau menulis, sebenarnya dari SMP sudah sering menulis di buku harian. Terus saat kuliah mulai coba-coba nulis opini, tapi masih sekadar konsumsi pribadi (tapi masih suka nulis catatan harian). Terus akhirnya coba-coba nulis cerpen, ternyata nyaman. Asyik!
Apa yang pertama kali membuat Anda jatuh cinta pada sastra?
Novel-novel Perang Dunia Dunia yang ditulis P.K. Ojong. Kalau tak salah ada tiga jilid atau empat. Saya sering curi-curi waktu di kelas buat baca novel. Terus ada novel-novel Perang Salib juga dua jilid, tapi saya lupa siapa yang nulis.
Kenapa sastra dan bukan yang lain?
Kurang ingat juga kenapa. Tapi dari kecil ibu suka sekali menceritakan cerita-cerita yang seru dan (kalau dipikir-pikir sekarang) ngeri; banyak cerita tentang siksa kubur dan kehiduan akhirat. Mungkin awalnya dari situ kenapa saya suka cerita.
Baca juga: Pembatalan Pada Novel Ajengan Anjing karya Ridwan Malik
Pandangan Pribadi tentang Sastra dan Kota Asal
Menurut Anda, apa arti sastra?
Bagi saya “sastra” adalah seni melambat.
Apa peran penting sastra di tengah kehidupan masyarakat hari ini?
Masyarakat hari ini kan sangat hustle culture sekali. Karena hal itu hidup jadi seakan balap lari, harus ada yang menang dan kalah, harus ada pemenang dan pecundang. Terus, nilai seseorang jadi diperas ke dalam nominal; banyak duit sama dengan sukses, sedikit duit sama dengan gagal. Sastra yang merupakan seni melambat, jadi alat atau bolehlah dikatakan metode untuk mengimbangi hal itu. Karena dengan melambat, kemudian kita diajak untuk merenungkan kembali, memikirkan ulang, memerhatikan hal-hal kecil yang sering terlewat. Dengan begitu, sensibilitas kita akan terasah, jiwa kita akan tumbuh.
Apakah Anda merasa karya sastra masih relevan di tengah budaya digital dan konten cepat seperti sekarang?
Justru karena kita berada di tengah budaya digital dan konten yang serba cepat, sastra menjadi sangat penting. Karena hal itu tadi, kita dipaksa untuk melambat dan merenungkan semuanya.
Seberapa besar pengaruh kota asal Anda, Garut, dalam karya-karya Anda?
Sangat besar. Dengan letak geografis dan landskapnya yang kaya, gunung, laut, hutan, perkebunan, sungai, itu memberi saya banyak bahan untuk diolah. Ditambah dengan banyaknya pesantren, juga masyarakat adat dan mitos-mitos lokalnya seperti Kampung Adat Dukuh dan Leuweung Sancang.
Bagaimana Anda melihat geliat kesusastraan atau ekosistem seni di Garut? Apakah mendukung penulis muda?
Geliat kesusastraan di Garut cukup mendukung. Banyak pegiat-pegiat literasi yang punya taman baca. Perpus yang bisa diakses gratis dengan buku-buku bagusnya juga ada, seperti Parmawijaya Dendasasmita. Mungkin memang belum massif, tapi arah untuk ke sana jelas ada.

Proses Kreatif dan Karya
Genre atau tema apa yang paling sering Anda tulis? Mengapa?
Sekarang saya dominan menulis dengan tema-tema kelokalan. Mengolah cerita-cerita lokal dan mitos-mitos yang ada di Garut. Tapi tak sampai di situ. Saya menggabungkan tema-tema lokal itu dengan isu-isu lingkungan dan agama. Pentingnya, saya percaya apa yang sekarang kita kenal global seperti filsafat Yunani, dulunya juga merupakan sesuatu yang lokal.
Bisa ceritakan proses kreatif Anda? Misalnya, dari mana biasanya ide datang? Apakah Anda punya rutinitas khusus saat menulis?
Tentang proses kreatif. Sebenarnya dari tahun 2014, sejak mulai kuliah, saya mulai mencoba untuk menulis catatan harian. Setiap hari memaksa diri untuk menulis catatan harian tanpa pernah memikirkan itu akan berguna atau tidak. Waktu itu saya hanya berpikir, buat catatan pribadi saja. Sampai sekarang saya masih melakukannya. Sepertinya karena hal itu, untuk menulis saya jadi tak punya kebiasaan khusus atau katakanlah “ritual” tertentu. Karena kebiasaan itu juga, ide pun bisa datang dari mana saja. Paling, mungkin perkara waktu menulis saja. Saya biasanya menulis dari jam dua belas malam ke atas. Seringnya sekitar jam 2 sampai subuh. Soalnya enak, hening, tak berisik.
Apakah Anda lebih suka menulis fiksi, puisi, esai, atau bentuk lain?
Ya, saya lebih suka nulis fiksi. Terutama cerpen dan novel. Kalau puisi hanya sesekali saja, itu pun sekadar koleksi pribadi saja. Terus bentuk-bentuk lain seperti esai atau artikel, sering mencoba berlatih, tapi hasilnya tak pernah enak, tak semengalir seperti menulis cerpen, misalnya.
Siapa penulis yang paling memengaruhi gaya atau cara menulis Anda?
Saya merasa tulisan saya banyak dipengaruhi Haruki Murakami. Saya senang cara Murakami menulis, kalimat-kalimatnya sederhana, “gak ribet”. Terus, Seno Gumira Ajidarma; terutama cerpen-cerpennya, kumpulan cerpennya Negeri Kabut dan Senja dan Cinta yang Berdarah. Terakhir, Eka Kurniawan; saya sangat terpengaruh sekali dengan bagaimana caranya menulis novel Lelaki Harimau.
Apakah Anda pernah mengalami writer’s block? Bagaimana cara Anda mengatasinya?
Sepertinya tak pernah. Mungkin karena kebiasaan menulis catatan harian yang membuat saya selalu “memaksa” diri untuk terus menulis. Mungkin writer’s block-nya lebih ke soal motivasi saja. Kadang masih sering merasa malas. Kalau sudah begitu, paling cara mengatasinya dengan naik gunung, renang di sungai, atau main di kebun sambil melamun, merokok dan ngopi. Atau, main bola bareng kawan-kawan.
Wawancara terdahulu bersama Ridwan Malik
Perjalanan Menuju Ubud Writers & Readers Festival
Bisa cerita proses Anda hingga akhirnya lolos ke Ubud Writers & Readers Festival? Apakah melalui seleksi karya? Undangan?
Jadi, tiap tahun saya memang selalu mengikuti info program Emerging Writers-nya Ubud Writers & Readers Festival. Tapi memang baru tahun ini saya mencoba ikut seleksi. Tahun-tahun sebelumnya saya selalu merasa belum siap (sepertinya karena persoalan mental). Jadi, saya lolos melalui seleksi karya (program emerging writers memang selalu lewat seleksi karya).
Apa karya atau proyek yang Anda kirimkan untuk seleksi? Apa ceritanya di balik karya itu?
Karya yang dikirimkan adalah cerpen. Jumlahnya tiga. Satu, cerpen baru yang tak pernah terbit di mana pun (ini yang dinilai). Yang dua, cerpen pendukung yang sudah terbit di media atau di mana untuk pertimbangan kurator. Cerita di balik cerpen, tentang konflik antara anjing dan anak dari penerus keluarga pesantren.
Bagaimana perasaan Anda ketika tahu Anda lolos kurasi? Apa yang pertama kali terlintas di kepala?
Tentu senang sekali, karena bisa lolos di festival sastra sebesar itu. Dan yang pertama kali terpikir, “Wah, akhirnya ‘resmi’ diakui sebagai penulis.” Haha.

Refleksi dan Harapan
Menurut Anda, apa tantangan terbesar bagi penulis muda di Indonesia saat ini?
Saya pikir tantangan terbesar adalah teknologi yang bikin kita jadi selalu harus serba cepat. Apalagi pengaruh sosial media. Saya sendiri pernah merasakannya. Ada satu fase bagaimana saya lebih sering menghabiskan waku main medsos daripada membaca buku atau menulis. Dan saya rasa, ketika sering main medsos, sensibilitas saya untuk mengamati hal-hal di sekitar yang dekat jauh jadi berkurang. Terus, apalagi dengan kemunculan AI. Aduh, ngeri juga rasanya.
Apa harapan Anda dari partisipasi di Ubud Writers ini—baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari komunitas sastra?
Secara pribadi, dari partisipasi di UWRF ini, saya ingin terus mendorong diri untuk lebih berkembang dan maju. Dan sebagai bagian dari komunitas sastra, harapannya supaya sastra di Indonesia bisa semakin lebih berwarna dan lebih kaya.
Apakah Anda punya pesan untuk penulis muda lain yang mungkin masih ragu dengan karya mereka?
Tetap menulis saja. Dalam bidang apa pun, perasaan ragu mah pasti selalu ada. Saya ingat sekali kata Eka Kurniawan, “Sastra itu seperti goreng tempe, ada yang enak, ada yang tidak.” Jadi, kembali ke selera. Dan sudah pasti, terus berlatih.
Download Nakar Ajengan Anjing.
Penutup
Apa rencana Anda setelah mengikuti festival ini?
Soal rencana. Yang pasti akan terus menulis. Sekarang pun saya sedang menggarap penulisan novel kedua—setelah Ajengan Anjing. Terus, sambil mengelola penerbit kecil-kecilan.
Di mana pembaca bisa membaca karya-karya Anda?
Kalau novel Ajengan Anjing bisa dibeli di Penerbit Maliré (instagram @penerbitmalire). Kalau cerpen sebagian ada di omongomong.com. Kalau catatan-catatan, ada di blog ridwnmalk.blogspot.com.
Kalau boleh, tolong sebutkan satu kutipan atau kalimat yang paling mewakili semangat Anda dalam berkarya.
Kata-kata Pramoedya Ananta Toer di novel Rumah Kaca:
“Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
Baca juga: Pembatan Pada Novel Ajengan Anjing karya Ridwan Malik
Deri Hudaya. Wawancara dilakukan di Penerbit Malire, 17 April 2025.
Post Comment