Makanan adalah Obat Terbaik
Di dunia yang semakin sintetik, di mana pil berwarna pastel menjanjikan keabadian dalam kemasan plastik, barangkali sudah waktunya kita mengingat kembali satu kebenaran sederhana: makanan adalah obat terbaik.
Pernyataan ini, sering dikutip dari Hippokrates, lebih dari sekadar nasihat. Ia adalah peringatan kuno yang bergema sejak manusia pertama kali memetik daun liar untuk mengobati luka.
Hari ini, kita berjalan di supermarket seperti pasien rawat jalan yang lupa diri, mengisi keranjang dengan lebih banyak penyakit daripada penyembuhan. Apa yang dulu adalah upaya sadar untuk merawat tubuh kini bergeser menjadi ritual konsumsi tanpa makna.
Makanan telah kehilangan kodratnya sebagai sahabat tubuh. Ia berubah menjadi godaan berbungkus perisa buatan, pengawet, dan pemanis sintetis.
Dalam satu piring sarapan cepat saji, terdapat lebih banyak bahan kimia daripada yang mungkin dikenal oleh nenek moyang kita sepanjang hidupnya.
Makanan, pada mulanya, bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah pilihan hidup.
Dalam setiap gumpal gandum dan tetes madu, tersimpan filsafat tubuh yang seimbang dengan alam. Para tabib kuno, dari Mesir hingga Tiongkok, mempelajari bagaimana makanan menyeimbangkan panas dan dingin dalam tubuh, mengatur humus, atau merawat energi vital — jauh sebelum mikroskop menemukan bakteri.
Hippokrates tidak berbicara tentang diet keto atau tren veganisme musiman. Ia berbicara tentang prinsip dasar: tubuh manusia adalah kebun yang harus dirawat, dan makanan adalah alat tukang kebunnya.
Namun di abad dua puluh satu, kita memperlakukan tubuh seperti tempat pembuangan sampah musiman. Junk food saat ulang tahun. Junk food saat patah hati. Junk food saat ada alasan apa pun yang bisa diciptakan.
Iklan-iklan bersorak, “Kamu pantas memanjakan dirimu!” Tidak disebutkan bahwa ‘memanjakan’ itu mungkin berujung di meja operasi dengan bypass arteri.
Ironisnya, saat kita sakit akibat pola makan buruk, solusi kita adalah menelan pil demi pil — memperbaiki efek, bukan sebab.
Kita mengobati panas, bukan api. Kita meredakan batuk, bukan membersihkan paru-paru.
Dalam The China Study (Campbell & Campbell, 2004), salah satu penelitian nutrisi terbesar sepanjang sejarah, ditemukan hubungan kuat antara konsumsi makanan hewani berlebihan dan meningkatnya penyakit kronis seperti kanker dan jantung.
Penelitian itu tidak hanya menyarankan kita mengurangi makanan tertentu. Ia menyerukan revolusi kognitif: memahami bahwa makanan adalah pernyataan biologis yang lebih kuat daripada resep dokter.
Begitu pula dalam budaya Nusantara. Dalam kitab Mustikarasa (1950-an, era Soekarno), makanan tradisional tidak hanya soal rasa.
Ada sayur-sayuran untuk menurunkan panas dalam. Ada jamu untuk membersihkan darah. Ada sambal tertentu yang dipercaya meningkatkan stamina.
Nenek moyang kita, tanpa laboratorium, telah memahami tubuh mereka lebih dalam daripada apa yang kita kira hari ini, terhipnotis di bawah cahaya LED.
Mereka tahu: makanan adalah obat; bukan industri.
Bukan berarti obat modern tidak berguna. Antibiotik menyelamatkan jutaan jiwa. Vaksin menghapus wabah.
Tapi kita telah jatuh cinta pada solusi instan dan lupa bahwa pondasi kesehatan adalah apa yang kita masukkan ke dalam tubuh setiap hari. Bukan pil ajaib yang kita telan saat semuanya sudah terlambat.
Bayangkan sejenak: jika dalam satu dekade terakhir lebih banyak orang menganggap serius apa yang mereka makan daripada apa yang mereka posting di Instagram, berapa banyak rumah sakit yang akan kosong hari ini?
Saat dunia berlomba menemukan obat kanker, diabetes, dan penyakit jantung, satu fakta menyedihkan tetap menganga: banyak dari penyakit itu bisa dicegah sejak awal, dengan sesuatu yang kita miliki di dapur — bukan di laboratorium.
Makanan bisa menjadi perisai. Makanan bisa menjadi pedang. Tapi jika disalahgunakan, makanan juga bisa menjadi racun paling lambat, membunuh kita perlahan sambil kita tersenyum puas di meja makan.
Sudah saatnya kita mengingat kembali apa yang pernah diajarkan nenek moyang, yang ditulis dengan darah dan pengalaman di tanah-tanah subur: Jadikanlah makanan sebagai obatmu, sebelum kamu menjadikan obat sebagai makananmu.
Referensi:
- Hippocrates. (c. 400 BC). Corpus Hippocraticum.
- Campbell, T. Colin, dan Campbell, Thomas M. (2004). The China Study. BenBella Books.
- Tim Mustikarasa. (1959). Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia. Departemen Perindustrian Rakyat, Republik Indonesia.
Post Comment