Silent Killer

Silent Killer

Tidak ada dentuman, tidak ada ledakan. Tidak ada kilatan peluru atau sergapan pisau di gang sempit. Yang ada hanya bunyi renyah dari keripik asin, buih lembut dari soda manis, dan tepuk tangan kecil di lidah yang dibutakan kenikmatan instan. Inilah kematian yang tidak berisik, pembunuhan yang dikemas dalam warna ceria dan slogan kebahagiaan. Tidak ada darah; hanya ada kolesterol yang diam-diam menyumbat jalan raya kehidupan di dalam tubuh.

Setiap gigitan junk food adalah perjanjian kecil dengan ajal, yang ditandatangani tanpa baca syarat dan ketentuan. Barangkali, kematian tidak lagi datang dalam bentuk kudeta atau perang saudara; ia datang lewat burger ekstra keju, donat warna-warni, dan kentang goreng yang selalu “lebih hemat jika ukuran besar.” Kita tidak mati karena ditembak dari luar, kita mati karena dilunakkan dari dalam — dengan rasa gurih, manis, dan janji palsu kebahagiaan sementara.

Junk food adalah silent killer sejati. Ia tidak mengetuk pintu dengan keras. Ia mengendap-endap, menyamar sebagai teman setia dalam kesepian, hiburan cepat dalam kebosanan, hadiah kecil setelah hari yang berat. Namun, di balik semua itu, ia bekerja dengan rajin, memahat penyakit di dinding arteri, menanam lemak di organ vital, dan menyiapkan nisan bagi tubuh yang terlalu percaya.

Sejarah membuktikan bahwa manusia selalu mencari cara untuk makan lebih cepat, lebih murah, dan lebih memuaskan. Dari dapur-dapur cepat saji di masa Perang Dunia II hingga lahirnya jaringan restoran raksasa, makanan olahan tumbuh subur di atas lahan kosong modernitas. Efisiensi menjadi nilai tertinggi; kenikmatan instan menjadi agama baru. Michael Moss dalam Salt Sugar Fat menulis bahwa “industri makanan telah memanipulasi garam, gula, dan lemak sedemikian rupa untuk menciptakan ketergantungan seperti narkoba,” dan kita adalah pemujanya yang setia.

Di laboratorium tersembunyi, para insinyur rasa menciptakan keajaiban berbahaya: kombinasi sempurna antara garam, gula, dan lemak — dikenal sebagai bliss point — yang menjerat otak manusia. Otak yang sama yang dulu berevolusi untuk bertahan hidup kini ditipu untuk bertahan dalam kenikmatan semu. Setiap keripik kentang membawa sedikit dopamin; setiap tegukan soda adalah perayaan kecil di pusat kesenangan saraf. Namun seperti yang diingatkan David A. Kessler dalam The End of Overeating, “rasa lapar buatan ini mendorong kita makan bahkan saat tubuh sudah kenyang.” Maka makan tidak lagi untuk bertahan hidup, melainkan untuk mengisi kekosongan yang diciptakan dengan sengaja.

Tak ada yang memberi tahu bahwa kejahatan ini berbaju badut yang lucu, atau mengendarai truk warna-warni. Iklan-iklan yang berbicara tentang “cinta keluarga” dan “kebersamaan sejati” ternyata adalah selimut tipis yang menutupi kuburan massal yang kita gali sendiri — satu gigitan dalam satu waktu. Junk food tidak sekadar dijual; ia dipasarkan sebagai identitas, gaya hidup, bahkan lambang cinta itu sendiri.

Sementara itu, di bioskop dan layar televisi, junk food diberkati menjadi simbol “cool” dan “gaul.” Anak-anak melihat pahlawan super favorit mereka menenggak soda dan memakan piza berminyak sebagai ritual kejantanan modern. Kartun, film keluarga, bahkan aplikasi game; semuanya seolah bersekongkol untuk membangun budaya makan asal-asalan. Generasi muda tidak diajari makan, mereka diajari mengunyah tanpa berpikir. Di dunia ini, bahkan cita rasa tidak lagi alami; ia adalah hasil kalkulasi, seperti seorang seniman jahat yang melukis dengan bahan beracun.

Ironi terbesar dunia ini adalah: manusia hidup lebih lama, tetapi kualitas hidupnya hancur. Kita punya teknologi untuk mencangkok jantung, tetapi jantung itu lebih cepat rusak karena pola makan sembrono. Kita bisa hidup hingga usia 90 tahun, tapi 30 tahun terakhir dihabiskan dalam kursi roda, bergantung pada insulin, atau tertatih-tatih dengan tabung oksigen. World Health Organization mencatat bahwa “obesitas global telah mencapai tingkat pandemi,” namun sebagian besar dari kita masih menari di atas ranjau.

Makanan, yang dulu adalah lambang syukur atas kehidupan, kini berubah menjadi mekanisme penghancuran diri yang diam-diam. Setiap pesta junk food adalah perjamuan terakhir yang diselenggarakan tanpa kita sadari. Setiap potong pizza, setiap kentang goreng super besar, membawa kita satu langkah lebih dekat ke kematian yang diam — dan lebih berbahaya karena kita tetap tersenyum di sepanjang jalan.

Tentu saja, ada yang melawan. Gerakan mindful eating, makanan organik, pola makan berbasis tumbuhan, semua mulai muncul sebagai pemberontakan kecil di tengah lautan plastik kemasan junk food. Tapi pertempuran ini tidak seimbang. Di satu sisi, ada brokoli organik dengan harga mahal; di sisi lain, ada burger seharga sepuluh ribu rupiah dengan promosi buy one get one free. Seperti kata Kessler, “Makanan ultra-proses telah diprogram untuk memenangkan pertarungan, bahkan sebelum Anda sempat berpikir.”

Jika kematian datang dengan teriakan, kita mungkin akan bersiap. Tapi karena ia datang dengan bisikan gurih, kita tertawa dan mempersilakan masuk. Kita tidak mati oleh musuh yang asing, melainkan oleh sahabat yang kita peluk erat di ruang keluarga, di malam-malam Netflix, di sudut kecil warung 24 jam.

Menolak junk food bukan sekadar tentang menjadi lebih kurus atau terlihat lebih sehat. Ini tentang memilih hidup — bukan sekadar bertahan, tetapi benar-benar hidup. Hidup yang sadar, yang merayakan makanan bukan sebagai pelarian, tapi sebagai penghormatan kepada tubuh yang masih ingin berjalan, masih ingin bermimpi, masih ingin bangun esok pagi tanpa beban lemak dan rasa sesal.


Referensi:

  • Moss, Michael. Salt Sugar Fat: How the Food Giants Hooked Us. Random House, 2013.
  • World Health Organization (WHO). “Obesity and Overweight.” Fact sheet, 2024.
  • Kessler, David A. The End of Overeating: Taking Control of the Insatiable American Appetite. Rodale Books, 2009.

Post Comment