Perjanjian Kecil dengan Ajal
Beberapa waktu lalu saya menulis sebuah esai tentang bahaya junk food berjudul Silent Killer, yang terbit di Niskala News dan kemudian saya bagikan di Facebook. Esai itu mencoba menunjukkan bahwa kematian tidak selalu datang dengan ledakan dramatis atau serangan mendadak. Ia bisa hadir lewat bungkus warna-warni dan aroma ayam goreng. Bukan dalam bentuk horor, tapi dalam bentuk diskon. Kita menandatangani kontrak menuju akhir — bukan dengan darah, tapi dengan mayones dan keju leleh.
Sebagian pembaca merespons dengan persetujuan, bahkan semacam kelegaan: akhirnya ada yang berkata bahwa kentang olahan bisa lebih mematikan daripada perang. Banyak juga yang membaca tanpa respon sama sekali, atau: ini esai kliseu. Namun, di antara banyak komentar, satu suara mencuat, seperti nyanyian penghibur di tengah kobaran api:
“Junk food menemani kita menghadapi kematian tanpa rasa takut dan sedih. Bukankah mati disergap peluru peperangan dan didera rasa lapar lebih menakutkan? Hidup junk food! Apapun caranya orang hidup, pasti mati.”
Komentar ini tidak bisa kita abaikan. Justru karena ia begitu tenang, kita perlu berhenti dan membacanya berulang: adakah bentuk penerimaan terhadap kematian yang lebih manis daripada ini? Adakah bentuk kolaborasi dengan kehancuran yang lebih nyaman daripada yang dikemas dalam “makanan nyaman”? Komentar ini, bagi saya, adalah bentuk paling jujur dari perjanjian kecil dengan ajal — termakan ideologi.
Slavoj Žižek memberi kita alat untuk membaca momen semacam ini. Ia mengatakan bahwa ideologi masa kini tidak bekerja dengan menutup-nutupi kenyataan alias “kesadaran palsu”, tapi justru dengan membiarkan orang tahu — dan tetap membiarkan mereka larut di dalamnya. Seperti kata Žižek: “Kita tahu itu salah, tapi kita tetap melakukannya karena itu menyenangkan.” Orang yang menulis komentar itu tak menyangkal bahwa junk food berbahaya. Tapi ia justru merangkul bahayanya sebagai hiburan, bahkan penghiburan. Inilah bentuk ideologi paling sukses: ketika Anda tahu Anda sedang dihancurkan, tapi Anda tersenyum dan berkata, “Setidaknya aku merasa nyaman.”
Fantasi yang digerakkan oleh industri makanan modern adalah fantasi tentang kematian yang tidak menyakitkan. Ia menawarkan persetujuan: “Kau akan mati, tapi dengan rasa asin yang nikmat. Kau akan sakit, tapi kenyang dan bahagia.” Ini bukan tipu daya murahan. Ini transaksi emosional. Ia menawari kita posisi subjek yang tahu sedang ditipu — dan tetap ikut menipu diri — demi sejumput rasa senang. Inilah, kata Žižek, bentuk ideologi kontemporer yang tidak memaksa, tapi mengizinkan. Ia tidak berkata seperti dogma, “Percayalah padaku.” Ia berkata, “Kau tahu aku omong kosong, tapi nikmatilah!”
Kapitalisme makanan mengerti betul seni menyusup ke dalam hasrat manusia. Ia tahu bahwa manusia modern, yang lelah dengan politik, frustrasi dengan pekerjaan, dan kesepian di media sosial, tidak butuh lagi janji surga. Yang dibutuhkan hanyalah sensasi: bliss point yang tepat, suara garing saat mengunyah, dan perasaan “saya pantas mendapatkan ini.” Maka, setiap mie instan dan soda adalah bagian dari kontrak kecil yang tidak kita baca, tapi kita tandatangani setiap hari — lewat aplikasi pemesanan cepat, lewat iklan yang menyentuh nostalgia, lewat cemilan seperti keripik di malam penuh kecemasan.
Komentar itu — tentang junk food sebagai teman menghadapi ajal — adalah bentuk cynical reason yang dibahas Žižek: alasan sinis yang membungkus keputusasaan. Seolah-olah berkata, “Kita memang akan mati, jadi tak masalah makan racun yang lezat.” Ini juga seperti mengatakan, “Politik kotor, jadi tak ada gunanya memilih.” Atau, “Semua orang korup, jadi buat apa jujur?” Cynicism seperti ini, kata Žižek, bukan perlawanan, melainkan bentuk kolusi halus terhadap sistem yang menindas. Dengan membiarkan industri makanan ultra-proses terus berkuasa, kita tidak hanya memilih cara mati, tapi juga cara hidup: pasrah, setengah sadar, dan bergantung pada stimulus buatan.
Masalahnya bukan pada satu atau dua kali makan junk food. Masalahnya adalah pada bagaimana kita membiarkan makanan menjadi semacam agama kecil yang menyediakan pelarian, hiburan, bahkan alasan untuk tidak berubah. Kita tidak lagi makan karena lapar, tapi karena ingin merasakan sesuatu. Dan dalam dunia yang kehilangan makna, junk food menjadi perasaan tercepat dan termurah yang bisa dinikmati. Itu sebabnya ia begitu kuat — bukan karena rasa, tapi karena fungsinya sebagai penenang.
Žižek akan menyebut ini sebagai bentuk enjoyment as ideology. Kita menikmati sesuatu bukan karena ia baik, tapi karena ia membuat kita tetap berada dalam fantasi yang menyenangkan. Fantasi bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa hidup tak perlu diperbaiki, bahwa asal mati tidak kelaparan, semuanya sah. Junk food adalah materi ideologis yang bisa dikunyah.
Tentu saja, tidak mudah keluar dari perjanjian kecil ini. Ia terlalu nyaman, terlalu murah, terlalu mudah dijangkau. Bahkan suara hati pun bisa ditenangkan dengan saus ekstra. Tapi jika kita tahu bahwa ini adalah kontrak menuju kematian — kontrak yang kita tandatangani setiap hari — maka satu-satunya bentuk perlawanan adalah menolak untuk terus menandatangani. Bukan karena kita ingin hidup selamanya, tapi karena kita menolak manipulasi.
Membebaskan diri dari ideologi junk food bukan berarti berhenti makan gorengan sepenuhnya. Tapi itu berarti mulai menyadari mengapa kita terus memakannya. Karena dengan kesadaran, ada kemungkinan kita tidak sekadar menjadi konsumen yang menuju kubur, tapi manusia yang memilih tanpa ilusi — bahkan terhadap hal sederhana seperti menu makan malam.
Piring telah malam. Sendok telah malam. Kita perlu makan makanan.
Referensi:
- Žižek, Slavoj. The Sublime Object of Ideology. Verso Books, 1989.
- Žižek, Slavoj. Living in the End Times. Verso, 2010.
- Michael Moss. Salt Sugar Fat: How the Food Giants Hooked Us. Random House, 2013.
- David A. Kessler. The End of Overeating. Rodale Books, 2009.
Post Comment