Mati Ketawa Pembela Junk Food
Beberapa waktu lalu, saya menulis esai Perjanjian Kecil dengan Ajal sebagai kelanjutan dari Silent Killer, yang keduanya dimuat di Niskala News dan turut saya bagikan di Facebook. Isinya sederhana saja: tentang bagaimana junk food—makanan cepat saji dan ultra-proses—adalah pembunuh yang bekerja diam-diam. Junk food juga punya ideologi yang memakan konsumennya, lahir dan batin.
Seperti Silent Killer, tulisan itu mendapat beragam tanggapan. Lagi-lagi, ada satu komentar yang menarik perhatian saya lebih dari yang lain. Bukan karena nada sinisnya, melainkan karena kepadatan ideologinya. Saking padatnya, saya merasa seperti sedang menonton iklan junk food yang menulis sendiri kritik terhadap kritiknya. Saya tidak lekas-lekas berkomentar, tidak memilih reaktif untuk membalas, tapi berusaha mengunyahnya perlahan dan melihat kerumitan berlapis seperti struktur Krabby Patty di film SpongeBob.
Komentarnya dimulai dengan nada jenaka: “Membaca tulisan ini senikmat makan sekantong french fries dan sebotol cola 😄.” Kalimat ini mengandung ambiguitas yang manfaatnya hanya membingungkan. Di satu sisi, ia menyamakan tulisan saya dengan junk food: ringan, nikmat, dan tidak serius. Tapi di sisi lain, dengan mengasosiasikan tulisan saya dengan makanan yang ia bela—french fries dan cola—komentar ini tanpa sadar mengungkapkan kontradiksi: jika junk food tidak salah, mengapa menyamakan tulisan saya dengannya sebagai bentuk ejekan halus? Inilah kerumitan dari kebocoran ideologi yang bersembunyi di balik pernyataannya.
Seperti disoroti Žižek bahwa ideologi hari ini tidak bekerja dengan represi, tetapi dengan tawa dan persetujuan. Orang tahu bahwa junk food buruk. Mereka bukan bodoh. Tapi mereka tertawa, memakannya, dan berkata: “Ah, hidup cuma sekali.” Maka, ketika tulisan saya disamakan dengan french fries dan cola, dengan junk food itu, sebagai junk text, bukan saya yang sedang diejek—logika kritik itu sendiri sedang diolok-olok. Dalam hal ini, ideologi hadir dalam bentuk yang subtil: bukan menolak kenyataan, tapi memelintirnya jadi hiburan sinis.
Komentar itu berlanjut dengan fatalisme: “Perjanjian dengan kematian itu jelas ada, makan junk food ataupun tidak. Seumur hidup gak makan junk food juga tetap mati kok.” Ini adalah bentuk fatalisme populer yang telah lama dipasarkan oleh banyak iklan. Bahwa kematian adalah keniscayaan, dan karena itu, tak ada gunanya terlalu peduli apa yang kita makan. Dalam logika ini, tubuh bukanlah ruang perjuangan, melainkan hanya kontainer yang sedang dalam perjalanan menuju kehancuran. Maka, mari isi dengan kelezatan. Fantastik.
Fatalisme macam ini adalah jalan pintas untuk menghindari tanggung jawab. Kita tahu makanan itu merusak, tapi karena “toh semua orang mati kok”, maka kita anggap semua pilihan adalah netral, bebas nilai. Ini bukan nalar yang bersih; ini penghindaran melalui tautologi. Sama seperti mengatakan “air itu basah” atau “matahari itu panas.” Tentu saja semua orang akan mati. Tapi dari situ ke kesimpulan bahwa makanan tidak relevan dengan kualitas hidup — adalah lompatan logika yang setara dengan mengatakan, “Toh rumah akan roboh, jadi kita bebas membangun dari kardus.”
Lalu, komentar menjadi terdengar bijak: “Persoalannya bukan menjadi mati atau tidak, tapi bagaimana kita berusaha dapat menikmati sisa usia tanpa penyakit degeneratif akibat mengkonsumsi junkfood.” Kalimat ini tampak lebih reflektif, tapi sesungguhnya menyembunyikan jebakan sistemik. Dengan menggunakan kata “berusaha”, ia meletakkan seluruh beban pada individu. Ini khas dari neoliberalisme makanan: ketika makanan disusun agar membuat kita kecanduan, pilihan disederhanakan menjadi persoalan tekad pribadi. Padahal, apa arti “berusaha” dalam lingkungan di mana makanan sehat itu kalah pamor dari snack warna-warni berslogan “hemat dan kenyang”?
Žižek menyebut ini bagian dari cynical ideology—kita tahu sistemnya salah, tapi kita terus ikut main karena fantasi yang ditawarkan terlalu menggoda. Kita lebih senang merasa bersalah dalam kenikmatan konsumsi daripada merasa benar dalam kekosongan piring untuk sejenak. Kita bukan sekadar berurusan dengan makanan, tapi dengan teknologi hasrat — makanan dibuat untuk tidak bisa dihentikan.
Selain itu, komentar tersebut tampak kontradiktif dengan pembelaan sebelumnya. Jika semua orang akan mati, dan makanan tak berpengaruh, mengapa kemudian khawatir tentang penyakit degeneratif? Ini bukan alasan yang ajeg, ini adalah kognisi bercabang yang khas dari konsumsi ideologis: ia ingin bebas dari tanggung jawab, tapi tetap merasa bijak.
Lalu, puncak komentar itu datang dengan gaya whataboutism—sebuah teknik yang mengalihkan kritik dari satu hal dengan menunjuk hal lain yang seolah setara: “Btw, bagaimana dengan ikan asin, babat, iso, paru, sambal, petai dan jengkol?” Ini adalah bentuk pengalihan khas. Ketika kita membicarakan sistem industri makanan, tiba-tiba kita diseret ke meja makan nenek di desa. Mereka seolah-olah berkata: “Lihat! Semua makanan bisa bikin sakit kok!”
Tapi membandingkan ikan asin, babat dan petai dengan junk food adalah penyamaran cerdas dari kelelahan berpikir. Ada ketidakmampuan dalam melihat kategori di dalamnya. Semua makanan tradisional tersebut berasal dari dapur rakyat. Mereka hidup dalam konteks sejarah dan budaya, tidak dikendalikan korporasi global, tidak diproses dengan emulsifier, pewarna buatan, atau enhancer rasa sintetis. Kalau pun menyebabkan masalah kesehatan, itu karena cara kita dalam memperlakukannya, bukan karena makanan itu sendiri didesain untuk adiktif. Dan bila seseorang menderita setelah makan banyak petai, itu karena pola makan dan gaya hidup — bukan karena petai itu sendiri diproduksi untuk merusak.
Dan akhirnya, komentar itu ditutup dengan emotikon tawa. 😄. Ini juga tidak bisa diabaikan. Ketika penderitaan bisa ditertawakan, maka ia tak lagi terlihat sebagai sesuatu yang mendesak untuk diperbaiki. Kita diajak menjadi penonton atas tubuh yang hancur, menonton darah tinggi sebagai tontonan lucu, bukan sebagai ancaman serius. Kita menonton kolesterol naik seperti kita menonton video mukbang—dengan tertawa.
Maka, komentar ini bukan sekadar komentar. Ia adalah teks ideologis. Ia bukan lawan debat, tapi artefak dari sistem. Ia mewakili bagaimana junk food tidak lagi hanya mengisi lambung, tapi juga membentuk isi kepala. Dalam sistem yang seperti ini, makan bukan lagi soal hidup atau mati, tapi soal bagaimana ia meyakinkan diri bahwa dirinya bahagia dalam perjalanan menuju rentan dan sakit. Ia tahu tidak mampu menyangkal bahaya junk food. Namanya juga sampah. Ia tahu sedang disakiti, tapi: “yaudahlah, yang penting enak.”
Referensi
Žižek, Slavoj. The Sublime Object of Ideology. Verso Books, 1989.
Žižek, Slavoj. Living in the End Times. Verso, 2010.
Moss, Michael. Salt, Sugar, Fat: How the Food Giants Hooked Us. Random House, 2013.
Nestle, Marion. Food Politics: How the Food Industry Influences Nutrition and Health. University of California Press, 2002.
Pollan, Michael. In Defense of Food: An Eater’s Manifesto. Penguin, 2008.
Post Comment