Yang Kalah Selalu Kita

Yang Kalah Selalu Kita

Kita terhenyak menyaksikan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, saling lempar tarif, sensor semikonduktor, dan ancaman teknologi, seolah itulah panggung utama konflik dunia. Tapi di luar sorotan berita ekonomi dan geopolitik, ada perang lain yang lebih senyap namun jauh lebih dekat dengan tubuh kita sendiri: perang antara junk food global dan junk food lokal. Dan entah kenapa, barangkali karena sulit disadari, perang ini seakan-akan abadi.

Di ujung gang, di dekat sekolah dasar yang cat temboknya telah dikupas waktu, seorang anak membeli gorengan dengan koin logam yang kusam. Tangan kirinya menggenggam plastik berisi es lilin berwarna sintetis; tangan kanannya menyodorkan uang dua ribuan pada ibu penjual tempe mendoan yang duduk di atas kursi plastik biru. Sementara itu, di sisi kota yang lebih sejuk oleh pendingin udara, seorang anak seusianya memotret burger dalam kemasan rapi sebelum menyantapnya—ia tidak lapar, ia sedang mengabadikan pengalaman makan McDonald’s.

Ini bukan semata pilihan makanan. Ini adalah benturan dua sistem tanda, dua bentuk ilusi. Gorengan dan burger sama-sama bukan makanan, melainkan simbol yang telah terlepas dari asal-usulnya. Dalam dunia yang sudah lama tenggelam dalam simulasi, ia adalah simbol yang telah menggantikan kenyataan. Dan seperti kata Jean Baudrillard, kita hidup di dunia yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Junk food global—burger, kentang goreng, ayam renyah dalam balutan standar internasional—tidak lagi menjual rasa. Ia menjual gaya hidup, kecepatan, dan identitas instan. Kelezatan menjadi sekadar ornamen dari sebuah pengalaman yang dikurasi: makan cepat, tampak keren, bisa dipamerkan di media sosial. Rasa hanyalah satu dari banyak simulasi rasa aman.

Sementara itu, junk food lokal menawarkan mitos kerakyatan. Ada kesan “lebih jujur”, “lebih akrab”, bahkan “lebih sehat” karena “dibuat langsung oleh tangan manusia.” Tapi mari kita kulik sedikit lebih dalam wajan tempat gorengan itu digoreng. Sudah berapa kali minyaknya dipakai? Tiga? Lima? Enam? Jangan heran kalau sembilan atau sebelas. Minyak goreng yang telah berubah warna dan sifat kimiawinya tetap digunakan, berkali-kali, karena alasan ekonomi. Kita tahu ini tidak sehat, tapi kita sering mengelak dari kenyataan itu. Kita ganti pengetahuan faktual dengan nostalgia. Dalam kasus ini, meminjam pandangan dari Baudrillard: “Simulakra bukanlah sesuatu yang menyembunyikan kebenaran—ia adalah kebenaran yang menyembunyikan bahwa tak ada kebenaran sama sekali.”

Itulah sebabnya, baik junk food global maupun lokal berada di medan yang sama: medan hiperrealitas. Cilok dalam cup plastik berdesain Korea, gorengan dalam karton ala fast food, burger lokal dengan nama “Ayam Geprek Cheesy Lava”—semuanya tiruan dari tiruan. Kita tidak lagi makan untuk kenyang atau sehat. Kita makan untuk merasakan apa yang dikonstruksi sebagai rasa.

Ironi terbesar terletak pada penggiringan kolektif: kita diberi dua pilihan yang tampaknya berbeda, padahal keduanya sama-sama menjauhkan kita dari kebenaran tubuh dan realitas pangan. Kita membela yang lokal demi nasionalisme rasa, tapi menutup mata bahwa junk food lokal kini menyerap semua logika kapitalisme global: cepat saji, murah produksi, besar margin, dan penuh pengawet. Kita seolah makan dari dapur nenek, padahal nenek sudah lama pensiun dan digantikan oleh strategi algoritma.

Sementara negara tampak sibuk dengan urusan lain—pemilu, subsidi BBM, atau program makan siang gratis—regulasi soal minyak goreng bekas nyaris tak terdengar. Edukasi tentang bahaya akrilamida dari minyak jelantah lebih sering datang dari akun Instagram kesehatan daripada dari sekolah atau posyandu. Dari entah rezim kapan, hanya ungkapan yang sebenarnya entah apa artinya yang kerap diucapkan ke khalayak: kedaulatan pangan.

Kita tidak paham, kita tengah memuja kebudayaan makan yang dibangun dari simulakra. Makan tidak lagi untuk bertahan hidup, tapi untuk mempertahankan citra. Kita menyantap identitas yang diproduksi massal. Kita memilih “rasa lokal” bukan karena tubuh membutuhkan, tapi karena pasar mengemasnya dalam romansa akar rumput, kesederhanaan, dan seakan itulah yang paling dekat dengan rakyat jelata. Bahkan festval-festival kuliner yang dibuat oleh pemerintah atau suasta, junk food lokal dipromosikan.

Dan ketika semua ini berlangsung, kita tertawa dalam ketidaktahuan yang estetis. Kita menyebut itu budaya, tradisi, kenangan masa kecil. Kita tak sadar bahwa kenangan itu kini digoreng dalam minyak yang sama selama seminggu.

Maka, bayangkan pertarungan ini. Bayangkan dua orang bertarung di ring tinju. Yang satu membawa nugget dalam bendera Amerika, satunya lagi membawa tahu isi dengan bendera merah putih. Keduanya saling pukul, saling pamer trik dan adu strategi, saling serang entah sampai kapan. Seratus ronde tidak cukup, puluhan tahun tak menyelesaikan duel ini. Dalam setiap babak pertarungan, yang kalah bukankah selalu kita.

Post Comment