Orang Baik Makan Junk Food
Pagi itu, ia bangun pukul lima. Menyeduh air lemon, membuka gawai, membaca berita tentang perubahan iklim dan resesi. Ia adalah potret manusia sadar: mendukung gerakan lingkungan, melek literasi digital, menolak kekerasan, dan tentu saja percaya pada pentingnya hidup sehat. Tapi siangnya, di sela kerja daringnya yang padat, ia memesan ayam goreng cepat saji dan cola ukuran besar lewat aplikasi. “Sekali-sekali boleh lah,” katanya sambil membuka karton berminyak itu. Tapi itu bukan sekali-sekali. Itu sudah keempat kalinya minggu ini.
Di tengah maraknya kampanye gaya hidup sehat dan kesadaran gizi, fakta bahwa orang-orang baik—dalam arti progresif, sadar sosial, dan berpendidikan—tetap menjadi konsumen loyal junk food, adalah paradoks yang menampar. Ini bukan soal kebodohan atau kekurangan informasi. Justru sebaliknya: mereka tahu, mereka membaca label nutrisi, punya aplikasi penghitung kalori, dan tetap memesan burger sambil menyusun caption “healing” di Instagram.
Slavoj Žižek menyebut fenomena ini sebagai bentuk dari cynical ideology, yakni ketika orang tahu persis bahwa sesuatu itu salah, tapi tetap melakukannya karena sistem memungkinkan mereka untuk mentoleransi kepalsuan itu. “They know very well what they are doing, but still, they are doing it,” tulis Žižek dalam The Sublime Object of Ideology. Maka ketika seorang aktivis antikapitalis memakan kentang goreng sambil mencuit tentang ketimpangan ekonomi global, ia tidak sedang jadi munafik. Ia sedang berada di jantung dari ideologi paling efektif zaman ini.
Ideologi junk food bekerja bukan dengan menutupi fakta bahwa makanan itu merusak, tapi justru dengan membuat kita mentertawakannya. “Toh semua orang akan mati juga.” Ini bukan argumen; ini adalah mantera ideologis. Ia membius, bukan dengan penyangkalan, tapi dengan kelakar. Maka, junk food tidak perlu lagi membela dirinya dengan sains. Ia hanya perlu menunggangi lelucon, meme, dan iklan yang membuat konsumsi menjadi semacam ironi kolektif.
Maka, orang baik yang makan junk food bukan karena bodoh, tapi karena lelah. Lelah menjadi waras di dunia yang menuntut produktivitas tanpa henti. Junk food adalah jeda; ia tidak menghakimi. Ia tidak menyuruh kita menjadi versi terbaik diri kita. Ia hanya berkata: “Sudah, makan dulu. Yang penting kenyang.” Dalam dunia yang menuntut performa, junk food adalah satu-satunya tempat di mana kita tak perlu berpura-pura sempurna.
Namun keakraban ini penuh jebakan. Ketika orang baik makan junk food sambil sadar akan bahayanya, mereka tidak sedang memperbaiki keadaan, mereka sedang membiarkan sistem bekerja lebih halus. Dalam cynical ideology, tidak perlu represi atau propaganda; cukup ada kesadaran sinis yang dibalut tawa. Maka tubuh yang tahu sedang dirusak justru menjadi agen utama dalam mempertahankan kerusakan itu.
“Junk food adalah demokratisasi rasa,” kata seorang influencer kuliner sambil meneguk soda. Kalimat ini memukau, tapi menyesatkan. Sebab yang terjadi bukanlah demokratisasi, melainkan normalisasi adiksi. Makanan ultra-proses bukan hadir untuk semua, melainkan menarget yang paling lelah, paling sibuk, paling terasing—mereka yang paling butuh solusi cepat dan pelipur lara.
Dan solusi cepat inilah yang membuat banyak orang bijak berubah menjadi apatis. Mereka tahu sistem pangan ini tidak adil, tapi mereka juga tahu hidup sehat itu mahal, waktu itu sempit, dan iklan junk food lebih cepat sampai daripada sayur organik dari petani lokal. Maka pilihan mereka bukan antara baik dan buruk, tapi antara lelah dan lebih lelah. Mereka memilih yang bisa dipesan dalam lima menit.
Tapi kompromi yang terus-menerus berubah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan yang dibenarkan oleh kesadaran adalah bentuk baru dari penyangkalan. Inilah ironi besar zaman ini: bahwa mereka yang paling sadar bisa jadi konsumen loyal, karena mereka tahu, tapi memilih untuk menunda perubahan. Sambil tertawa. Sambil menyebutnya “guilty pleasure.”
Kita sedang tidak hanya berbicara tentang makanan, tapi tentang bagaimana sistem ideologi kontemporer bekerja dengan cara yang jauh lebih elegan daripada represi: dengan kesadaran, dengan ironi, dan dengan humor. Junk food menang bukan karena ia sehat, tapi karena ia akrab. Karena ia bisa dinikmati sambil tertawa. Dan dalam tawa itulah, tubuh-tubuh yang sadar sedang dibentuk ulang oleh sistem yang mereka kira sedang mereka lawan.
Referensi
Žižek, Slavoj. The Sublime Object of Ideology. Verso Books, 1989.
Post Comment