Merayakan Lapar
Di dunia yang menuhankan konsumsi, lapar adalah dosa. Ia adalah sesuatu yang harus segera dihapus dengan gigitan, suapan, atau minuman manis bervolume besar. Iklan menyebut lapar sebagai “musuh produktivitas”, dan sensor-sensor di lemari es pintar kini bekerja lebih keras dari hati nurani manusia. Namun dalam tubuh yang masih mengingat sejarahnya sendiri, lapar bukanlah musuh. Ia adalah upacara kecil yang memungkinkan tubuh membersihkan diri. Dalam istilah medis, puasa memicu mekanisme yang disebut autophagy—kemampuan sel untuk memakan dirinya sendiri, menyingkirkan bagian-bagian yang rusak dan memperbaharui jaringan.
“Autophagy merupakan proses di mana sel secara aktif mendegradasi dan mendaur ulang komponennya sendiri,” tulis Yoshinori Ohsumi (2016) dalam kuliah Nobelnya. Proses ini membantu regenerasi, memperpanjang umur sel, dan berperan penting dalam pencegahan penyakit neurodegeneratif maupun kanker. Seperti pohon yang menggugurkan daunnya agar bisa berbunga kembali, tubuh kita ternyata tidak butuh makanan terus-menerus; ia butuh jeda.
Ilmu pengetahuan baru menemukan hal ini belakangan, tapi tubuh manusia sudah lama tahu. Puasa telah menjadi bagian dari tradisi spiritual jauh sebelum laboratorium mampu mengisolasi molekul. Nabi Muhammad, Yesus, dan Siddharta Gautama tidak membaca jurnal ilmiah, tapi mereka paham bahwa lapar bisa membersihkan jiwa. Gandhi melakukannya sebagai senjata politik. Hari ini, kita memaknai lapar hanya sebagai kekurangan, padahal ia adalah kelapangan.
Namun lapar tidak hanya terjadi dalam tubuh, ia juga bisa menjadi lanskap batin. Dalam novel Hunger karya Knut Hamsun, lapar adalah tokoh utama yang tak terlihat. Seorang penulis muda berkeliaran di kota Kristiania (kini Oslo), perutnya kosong, pikirannya berkabut, tapi kesadarannya justru mencuat ke puncak tertinggi. Lapar baginya bukan penderitaan, melainkan pintu menuju absurditas dan kejujuran. Ketika semua orang makan karena bisa, ia menolak karena tak mampu—dan justru di situlah muncul kemungkinan kreatif.
“It occurred to me that perhaps I had gone mad, and I stood still to test myself. No, I was perfectly normal, the idea was nonsense” (Hamsun, 1890, hlm. 17).
Aku sempat berpikir bahwa mungkin aku sudah gila, lalu aku diam sejenak untuk mengujinya. Tidak, aku sepenuhnya normal. Ide itu konyol.
Di tengah lapar, batas antara waras dan tidak menjadi tipis, tapi juga lebih jujur. Tak ada topeng yang bisa dipakai oleh tubuh lapar. Dan justru karena itulah, lapar mengungkap siapa kita sebenarnya.
Hari ini, lapar adalah kegagalan sistem. Dalam dunia hiperrealitas ala Jean Baudrillard, kenyang bukan lagi hasil makan, melainkan tanda keberhasilan identitas. Baudrillard menulis bahwa dalam era simulakra, “kita tidak lagi hidup dalam masyarakat konsumsi, tapi dalam konsumsi tanda-tanda” (Baudrillard, 1994). Kita makan bukan karena lapar, tetapi untuk menampilkan status, untuk mencitrakan diri. Makan siang difoto lebih dulu, baru dikunyah kemudian. Burger dan ramen bukan hanya kalori, mereka adalah sinyal eksistensi. Kita takut lapar karena lapar tidak bisa dipamerkan. Ia tidak instagramable.
Dalam sistem seperti ini, memilih lapar adalah tindakan politis. Ia adalah sabotase terhadap mesin produksi rasa. Ia adalah bentuk penolakan terhadap ideologi yang menyamakan kenyang dengan sukses. Di mana segala sesuatu telah dijadikan komoditas, lapar adalah ruang yang belum dijajah. Puasa tidak lagi hanya spiritual, ia adalah perlawanan tubuh terhadap logika kapitalisme makanan.
Dan mari kita jujur pada satu hal yang sering kita abaikan: tidak semua makanan diciptakan setara. Di satu sisi, ada makanan ultra-proses hasil korporasi yang dijejalkan ke tenggorokan kita lewat iklan dan diskon. Di sisi lain, ada junk food lokal yang kita bela demi romantisme, padahal digoreng dalam minyak yang telah digunakan tujuh kali. Minyak yang sama. Wajan yang sama. Sel kanker yang menari-nari di lapisan lemak. Kita menyebutnya “gorengan”, tapi ia mungkin lebih tepat disebut “santapan kematian dalam harga seribu rupiah.”
Sekarang kita terhenyak melihat gelanggang perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, sehingga kita semakin lupa bahwa ada perang antara junk food global dan junk food lokal—dan yang kalah adalah kita. Yang kalah adalah pembuluh darah kita. Yang kalah adalah akal sehat yang terseret dalam euforia diskon dan promo cashback. Kita mengira sedang makan kenyamanan, padahal sedang mengunyah krisis.
Lapar, dalam konteks ini, bukan penderitaan—tapi penolakan terhadap kompromi. Ketika tubuh menolak makanan yang sudah menjadi simulasi, lapar adalah bentuk klarifikasi. Sebuah jeda dari gempuran rasa palsu. Sebuah ruang sunyi di mana tubuh, jiwa, dan bahkan pikiran bisa mendengar dirinya sendiri.
Maka, izinkan saya memberi sebuah gambaran: bayangkan ada pesta makan besar di istana raksasa. Semua orang hadir dengan perut kosong, mengenakan pakaian terbaik, mengobrol tentang kalori, lemak, dan diet keto. Di tengah pesta itu, seorang tamu berdiri dan berkata, “Saya memilih tidak makan.” Semua orang menoleh. Mereka tersinggung. Mereka bingung. Tapi diam-diam, mereka iri—karena hanya orang yang benar-benar merdeka yang bisa berkata: “Saya lapar, dan itu baik-baik saja.”
Referensi
- Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.
- Hamsun, K. (1890). Hunger (ed. Penguin Classics, 2005).
- Ohsumi, Y. (2016). Autophagy and Cellular Longevity. Nobel Lecture. https://www.nobelprize.org/uploads/2018/06/ohsumi-lecture.pdf
Post Comment